Tentang Cinta
Oleh: SBDB
Ini soal cinta.
Kekuatan cinta.
Kekuatan cinta itu
dahsyat. Percayalah, kawan!
Tak ada yang dapat
mengubah hidup seseorang seperti cinta. Percayakah kau, bahwa cinta memiliki
kekuatan luar biasa? Ah, baiklah. Kau memaksaku menceritakannya, kawan. Maka
sekarang, siapkan posisi duduk terbaikmu selama menyimak ceritaku ini.
Cerita ini kumulai
dua tahun lalu. Saat aku dan abangku, Andromeda, sedang menjalankan aksi kami.
Nama yang keren, bukan? Andromeda. Wow, banyak orang yang penasaran mendengar
nama abangku itu. Nama suatu galaksi di luar sana. Tak Cuma begitu, abangku, si
Andromeda itu tampan sekali. Ya, mungkin aku terlalu berlebihan
menggambarkannya. Tapi kau harus percaya, ia benar-benar tampan.
Sayang sekali,
ketampanan fisiknya tidak didukung perilakunya. Kami berdua bukan orang
baik-baik. Bukan anak muda yang dibesarkan keluarga seperti kalian, kawan. Kami
sumber masalah di kota besar, di ibukota negara ini. Kami sering diburu pihak
berwajib atas aksi yang kami perbuat. Kami pencuri, kawan. Pencopet.
Nah, jangan
buru-buru mengakhiri cerita ini, karena aku baru akan mulai.
Siang itu, cuaca
begitu terik. Semua orang berpeluh di bis kota ini. Tak ada yang tak
berkeringat. Apalagi si kondektur dekil itu, keringatnya membanjiri kaus
lusuhnya. Ia sibuk berteriak-teriak mencari penumpang. Kota yang sibuk. Kota
yang egois pula. Lihat saja, abangku tengah berusaha mencuri dompet seorang
pemuda kantoran berpakaian rapi itu. Tak sulit, karena sejak kecil kami sangat
terbiasa dengan hal ini. Dompet kulit itu sudah berpindah tangan. Kami turun
dari bis penuh sesak itu, terduduk di lorong kotor. Kami mengusap kening,
mengipas-ngipas dengan tangan.
“Aku lapar,” kataku
waktu itu.
Andromeda memandangi
isi dompet, matanya berbinar, “Begitupun aku. Ayo makan!”
***
Hari yang sibuk
hampir berakhir. Hanya menunggu sang surya tenggelam. Saat hari mulai gelap
itulah, kejadian kecil mengubah hidup kami selamanya.
Andromeda tengah
merokok santai di halte tempat kami biasa nongkrong. Rambutnya yang sedikit
kriwil begitu mencuri perhatianku. Matanya tetap bersinar, tak kalah dengan
bintang di langit sana. Hey, jangan salahkan aku kalau aku jatuh cinta padanya.
Sejak kecil aku berkawan dengannya, mencopet bersamanya, lari dari kejaran masa
juga bersamanya. Ah, aku tak menyesal dilahirkan sebagai orang jahat asal bisa
mencintainya. Andromeda toh bukan abang kandungku. Dia yang menemukanku saat
aku kabur dari panti asuhan dulu. Dan kami tumbuh bersama. Tak ada yang lebih
memahaminya selain aku. Namun hanya satu yang aku tak tahu, apakah ia juga
mencintaiku, atau tidak.
Lamunanku terbuyar
ketika Andromeda menyikutku berkali-kali. Aku menoleh dan bertanya, “ada
mangsa?”
Andromeda
menggeleng. Ia tak memandangku. Pandangannya terpaku lurus ke depan, menatap
seorang cewek di seberang jalan. Masih berseragam sekolah. Rambut lurus
tergerai lewat bahu, hidung mancung, kulit putih. Manis.
Masih belum
mengerti, aku bertanya lagi, “Ada apa?”
Andromeda masih
memandanginya tanpa berkedip. Oh! Betapa berdebarnya hatiku saat itu.
Jangan-jangan abangku ini... jatuh cinta. Mungkinkah?
“Cantik sekali. Aku
suka!”
Dan jantungku seolah
berhenti berdetak. Andromeda-ku menyukai orang lain? Termenung entah berapa
lama, aku mencoba berpikir jernih. Andromeda kan hanya menyukai, bukan
mencintai. Dan, si cewek sepertinya gadis baik-baik. Jelas seandainya –kuulangi
lagi, seandainya- Andromeda berhasil mendekatinya, gadis itu tak akan menerima
cintanya karena Andromeda adalah salah satu kutu yang harus dibasmi di kota
ini.
***
Tapi aku langsung
menyesal telah meremehkan hal ini.Sangat menyesal waktu itu. Karena setelah
Andromeda melihatnya malam itu, ia langsung mendekatimya pada malam-malam
selanjutnya. Entah sihir apa yang ia gunakan, si gadis justru senang berteman
dengannya! Maka mengalirlah cerita-cerita dari mulut Andromeda setiap malam.
“Namanya Devira.
Nama yang cantik, aku benar-benar jatuh cinta!”
“Ia pelajar SMA
kelas 3, sedang sibuk latihan ujian. Pulang sekolah langsung ke sanggar tari
untuk latihan sampai maghrib.”
“Lihat, ia sudah mau
kuantar pulang. Besok aku akan mengajaknya makan malam kalau ia mau.”
“Dimana ponselku?
Aku rindu suara si cantik itu.”
“Devira bilang
ia menyukai caraku memperlakukannya.
Aha! Aku berhasil mencuri hatinya, bukankah begitu, Rin?”
Aku pun tak mau
kalah. Kubalas kata-katanya dengan pernyataan pesimistis seperti:
“Ha, dia gadis alim,
bang! Berkaca dululah. Kamu tak akan mendapatkannya.”
“Jangan berharap
terlalu tinggi, bang. Kau mau trakir
dia? Bayar pakai apa?”
“Hanya karena ia
cantik, kau menyukainya, begitukah bang?”
Andromeda tak banyak
membantah ucapanku. Aku tahu betul, ia menyadari siapa dirinya. Tapi bara api
di matanya tidak juga padam.
***
Abangku kini jadi
pendiam, tak lagi banyak beraksi seperti dulu. Bukannya aku keberatan mencari
nafkah setiap hari, aku hanya terganggu oleh sikapnya yang diam itu. Sepanjang
hari ia pergi berkelana entah kemana. Pulang menjelang sore, itupun langsung
menuju halte bis tempat Devira menunggu. Ia bisa bercengkerama dengan gadis itu
lama-lama, bercanda, kadang bicara serius. Devira gadis baik, polos, pandangan
matanya tulus. Aku bisa merasakannya, kawan. Devira juga menyukai abangku,
Andromeda-ku.
Tak usah kujelaskan
betapa sakitnya hatiku. Aku hanya bertekad kuat, jangan sampai menangis,
apalagi mengemis cinta di hadapan Andromeda. Tidak, aku akan memendamnya. Tapi
tentu saja, cinta ini akan terus kuperjuangkan.
***
Sudah dua bulan.
Dua bulan perjaungan
cinta bagi abangku.
Dua bulan perjuangan
cinta juga bagiku, berusaha mendapatkan kembali perhatiannya.
Semangatku tak
pernah padam, sekalipun tak pernah. Namun di pagi mendung itu, semangatku
benar-benar runtuh.
“Aku akan menyatakan
cintaku. Aku akan minta Devira menjadi pacarku. Nanti sore.”
Kata-kata singkat
itu menghujam tepat di jantungku, mematikan saraf demi saraf tubuhku. Rasanya
tubuh ini tak bertulang, lemas mendengarnya. Baru aku menyadari, betapa bodohnya
aku. Aku yang bersamanya sejak kecil, sedangkan gadis polos itu baru dua bulan.
Aku menyesal, marah pada diriku sendiri, yang tak bisa merengkuh cinta di depan
mata. Melihat punggung Andromeda mulai menjauh, aku menyadari, sebentar lagi
dia bukan Andromedaku lagi. Dia milik orang lain. Aku terduduk lemas, menutupi
wajahku dengan kedua tangan.
Entah berapa lama
aku terdiam, menata hatiku kembali, menyusun harapan-harapan agar kaki ini
tetap kuat melangkah, mengejar, dan mendapatkan kembali cintaku. Ah, aku harus
tetap jadi Rina yang kuat.
***
Malam.
Aku menunggu
Andromeda pulang. Sudah kutata hatiku sedemikian rupa, agar setidaknya aku tak
menangis cengeng di hadapannya. Meskipun jujur saja, aku tak yakin pertahananku
sekuat harapanku.
Dari kejauhan, orang
yang kutunggu datang. Langkahnya begitu gontai, sepatunya terseret sepanjang
lorong kotor, mengikuti langkah lunglai sang empunya. Dan matanya, ah, gelap,
tak bersinar seperti pagi tadi. Redup sekali. Wajahnya yang murung itu mengusik
hatiku.
“Berhasilkah kamu,
bang?”
Andromeda menyalakan
rokoknya, ia duduk tak jauh dariku. Di malam selarut ini, kota belum juga
terlelap. Hilir mudik kendaraan tak pernah berhenti. Kota berisik, tak
terpengaruh hujan rintik-rintik yang membasahi bumi.
“Bang?” tanyaku
lagi.
Ia membuka sedikit
mulutnya. “Jangan tanyakan itu, Rin.”
“Kau ditolak?”
hatiku bergetar saat pertanyaan itu keluar dari mulutku. Kurasakan ada
inkonsistensi perasaan di hatiku. Betapa aku menginginkan Andromeda menjadi
milikku! Aku rela menukar apapun demi cintanya, tentu saja. Tapi membayangkan
Devira menolak Andromeda, aku sangat tidak tega. Akan kuberi dia pelajaran
kalau berani menyakiti Andromeda.
“Tidak. Ia
menerimaku,” balasnya pelan.
“Apa? Lalu, kenapa
kamu murung begini?” aku tak menyembunyikan keterkejutanku.
“Sudahlah. Aku harus
bangun pagi-pagi sekali esok.”
Dan begitulah, ia
menyudahi pembicaraan singkat kami.
***
Abangku tidak
bohong. Ia bangun saat matahari bahkan belum muncul. Meninggalkan aku yang
bertanya-tanya, mau mencuri apa ia pagi-pagi begini?
Siang hari ia sudah
kembali. Dan lagi-lagi laki-laki itu membuatku terkejut. Ia berbeda! Memang ia
masih mengenakan kaus dan celananya yang usang, tapi wajahnya sangat berbeda!
Ia kembali memancarkan cahaya dari matanya, dan senyumnya siang itu... menyejukkan
hatiku, kawan. Mengalahkan teriknya sang surya di atas sana.
“Rina! Aku dapat
pekerjaan!”
Aku ternganga,
“Bukankah kita sudah berprofesi sejak dulu, Bang?”
Ia menggeleng cepat,
“Tidak, tidak. Aku bukan lagi pencopet bis. Bukan lagi bajingan yang
dikejar-kejar polisi. Aku pria baik-baik sekarang.”
Ia tersenyum lebar.
Dan aku pun tahu,
hari itu kau telah mendapatkan pekerjaan halal. Tak hebat, hanya sebagai loper
koran. Tapi sungguh mengubah abangku itu seratus delapan puluh derajat. Ia rapi
sekarang, rajin cukur rambut, membersihkan diri. Tampak semakin tampan ia di
mataku. Tapi tentu saja, ia melakukan semuanya bukan untukku.
Devira yang
mengubahnya. Gadis itu luar biasa, auranya bisa menyulap seseorang menjadi
pribadi lain.
Dan ceritapun
mengalir dari mulut Andromeda.
“Ah, gadisku itu
segala-galanya untukku. Ia cantik, berjiwa bersih, dan aku tak akan
melepaskannya,” Andromeda meneguk air
mineral botol, “Bisakah kau bayangkan, Rin, betapa hatiku gembira saat ia
menerima cintaku?”
Ia menatap langit,
menerawang jauh.
“Aku seperti meledak
waktu itu. Bahagia sekali, Rin. Tapi sungguh aku menyesal.” Aku memperhatikan
wajahnya yang tiba-tiba menjadi sendu.
“Ia tahu, tahu
semuanya tentang aku. Siapa aku ini. Dan, ah, terlalu baik rasanya gadis itu.
Ia tak keberatan menjadikan aku pacarnya karena ia yakin semua orang bisa
berubah, karena ia yakin semua orang pada dasarnya baik.”
Aku tertegun.
“Tahukah kamu, bahwa
yang kucopet dompetnya di bis itu, adalah kakak laki-laki Devira? Devira
melihat sendiri aku beraksi. Belum sempat ia menegurku, kita sudah turun bis
waktu itu. Dan esok harinya, tanpa tahu apapun, aku mendekatinya. Ia
mengenaliku sebagai pencopet kakaknya, tapi ia tidak meneriaki aku pencuri,
tidak menuntut, tidak mengatakan apapun, selain memamerkan senyumnya yang indah
itu. Ia seperti menerawangi batinku, Rin. Malaikatkah dia itu? Betapa malunya
aku saat ia berkata: ‘Andro, aku yakin semua orang baik. Dan aku sangat percaya
kamu pun begitu. Sekarang tak perlu lagi kamu berpura-pura jadi orang baik di
hadapanku, jadilah orang baik yang sebenarnya.’ Aku malu, malu sekali waktu
itu.Gadis itu tahu semuanya! Aku tak habis pikir..”
“Sekarang aku sudah
berniat tak akan mengecewakannya. Tentu aku ingin berubah. Meskipun dibesarkan
di jalanan ibukota ini, aku tak akan membiarkan diriku liar lagi. Langkah
awalku adalah menjadi loper koran yang jujur. Dan terlaksana sudah. Aku kini
percaya, dimana ada kemauan, disitu ada jalan.”
Aku tergugu, tak
mampu berkata. Abangku tak pernah sekolah, tapi kata-katanya sangat bijak di
telingaku. Kebekuan hati ini akhirnya mencair, menyadari Devira-lah yang tepat
baginya.
Nah, sekarang, aku
bertanya lagi padamu: percayakah kau, bahwa cinta itu memiliki kekuatan yang
luar biasa?
Kekuatan cinta itu
dahsyat, kawan! Percayalah.
Kotabumi, 20 Agustus
2012