Sweet
Tart Love
“Rangga
udah jadian sama Jessi,” ujar Adit perlahan. Chacha terduduk lemas
di kursi taman sekolah. Meskipun ia sudah berusaha mengendalikan
perasaannya, tetap saja ia tidak bisa menerima kenyataan. Chacha
menahan air matanya yang siap jatuh.
“Cha,
udah deh. Kan gue udah pernah bilang, nggak usah dipikirin....”
Adit duduk di sampingnya.
“Nggak
bisa, Dit..” gumamnya. Rambut Chacha turun menutupi wajahnya. Kedua
tangannya bertautan. Adit menarik napas panjang. Matanya tak lepas
menatap Chacha, adik kelasnya sekaligus mantan pacar adiknya itu.
Rangga, adiknya, sudah satu minggu memutuskan hubungannya dengan
Chacha dan memilih Jessi.
“Cha..”
“Gue
nggak ngerti, Dit. Kenapa sih Jessi itu milih Rangga? Bukannya masih
banyak cowok terkenal yang bisa dia dapetin? Kenapa dia nggak milih
Joe, Roy, atau elo? Kenapa harus Rangga? Kenapa harus milik gue?”
suara Chacha terdengar frustasi. Adit menepuk pundak Chacha. Ia
hampir saja bilang kalau Jessi memang pernah ‘nembak’ dia, tapi
Adit menolaknya. Mungkin ini penyebab cewek populer itu mengejar
Rangga, adiknya sendiri.
“Seharusnya
lo bersyukur, Cha. Dengan kejadian ini lo jadi tau kan kalo adik gua
itu playboy, dia nggak pantes bikin lo sedih gini. Masih untung dia
mutusin elo terang-terangan. Coba lo bayangin, kalo Rangga selingkuh
dibelakang lo. Lebih sakit kan? Pernah denger kata-kata cinta nggak
harus memiliki?”
“Tapi
itu egois, Dit! Kalau gue tau gini, gue nggak mau menjalin hubungan
sia-sia selama dua tahun ini.” Mata Chacha bertumbukan dengan
tatapan Jessi yang kebetulan melintas di depan taman, bersama Rangga
tentunya. Jessi memelototinya, kemudian menggandeng tangan Rangga dan
pergi dari situ.
“Mau
sampe kapan lo kekanak-kanakan gini, Cha?” tanya Adit. Chacha
terdiam.
Sampai
kapan gue harus nunggu?
Adit
mendribel bola basket dan menembaknya. Bola itu masuk ke ring. Chacha
bertepuk tangan melihatnya. Adit tersenyum dan duduk di pinggiran
lapangan basket.
“Thanks
ya, Kak Aditya Erlangga, udah bersedia nemenin gue disini,” ujar
Chacha sambil menyodorkan sebotol air mineral dan handuk kecil.
“Tumben
lo sopan,” jawab Adit. Ia meraih botol air dan meneguknya
banyak-banyak. “Btw, ngapain lo ngajak gue ke lapangan sore-sore
gini?”
“Gue
suntuk di rumah, Dit. Semua yang gue lakuin selalu ngingetin gue sama
Rangga. Bisa stress lama-lama gue.”
Meskipun
kalimat itu diucapkan Chacha dengan santai, Adit dengan jelas
mendengar nada sakit didalamnya. Dia tau pasti, bahwa Rangga adalah
segalanya bagi cewek disampingnya ini. Terkadang Adit juga ikut kesal
sama adiknya itu. Tapi apa boleh buat, Rangga bersikeras berkata
bahwa ia menyukai Jessi lebih dari perasaannya kepada Chacha. Yah,
itu bisa dimaklumi. Siapa sih yang nggak tertarik sama Jessi? Cewek
populer yang kaya raya, cantik, dan ayahnya punya otoritas di
sekolah. Tapi bagi Adit, cewek yang merebut pacar orang lain bukanlah
siapa-siapa.
“Lagi-lagi
karena Rangga,” balas Adit, “Cha, dengerin gue ya. Kenangan
antara lo sama Rangga itu bukan buat dilupain, tapi dikenang. Sayang
kan, semua yang lo lewatin selama dua tahun masa’ harus lo ilangin
secara paksa? Simpan aja semua itu disini,” Adit mengetuk-ketukkan
jarinya di jidat Chacha.
“Kenangan
itu kayak permen gulali. Pernah makan gulali kan, lo? Apa rasanya?”
“Manis
lah, Dit.”
“Rasanya
memang manis, itulah kenangan lo berdua. Banyak yang bikin lo senyum
kan? Banyak yang nggak terlupakan juga kan? Tapi, kalo makan gulali
banyak-banyak, yahh.. paling-paling gigi lo bolong-bolong.”
Chacha
terkikik mendengarnya.
Adit
melanjutkan, “Gitu juga dengan kenangan itu, Cha. Sekarang dia
bukan milik lo lagi. Kalau lo terus-terusan inget semua itu, hati lo
juga bakal bolong-bolong.”
Chacha
tertawa lepas, memperlihatkan lesung pipinya.
“Nggak
ah, gue nggak mau gigi atau hati gue bolong-bolong. Gigi gue sempurna
kok, liat nih,” dan gadis cantik itu memamerkan deretan gigi yang
putih bersih.
“Iya,
iya. Itu kan perumpamaan, bego.” Lagi-lagi Chacha tertawa.
Adit
melihat binar keceriaan di mata Chacha. Lega hatinya melihat cewek
itu kembali tertawa. Mereka mengobrol sampai lupa waktu. Sore semakin
jauh, hampir menjelma menjadi malam. Di sore itu pulalah, tanpa
diduga Adit menyatakan perasaannya kepada Chacha, orang yang ia
sayangi sejak pertama kali bertemu. Chacha tidak menyembunyikan
kegembiraannya ketika Adit memintanya menjadi pacarnya. Chacha
berniat melupakan Rangga dan membuka hatinya sepenuhnya untuk kakak
mantannya itu.
Keesokan
harinya, di sekolah, Adit dan Chacha dengan jelas menunjukkan bahwa
status hubungan mereka bukan lagi kakak-adik kelas. Siswa-siswi SMA
Wiyata Mandala gempar. Adit, salah satu cowok ‘wanted’ di sekolah
ternama itu jadian dengan mantan adiknya sendiri.
Siang
itu, di kantin sekolah, Jessi menghampiri Rangga.
“Sayang,
kamu udah denger kalo Adit jadian sama mantanmu itu? Satu sekolah
pada penasaran sama mereka”, ujarnya sinis. Rangga menanggapinya
dengan santai, “Udah tau kok. Biarin ajalah, itu kan hak mereka
sih. Lagian gue udah punya elo kan,” katanya sambil mengelus rambut
ikal Jessi.
Rangga
memang tersenyum, tapi jauh di lubuk hatinya, ada suatu perasaan yang
tak terduga menyelinap.
Hubungan
Adit dan Chacha sudah berlangsung dua bulan. Tiada hambatan berarti
bagi mereka, yang sama-sama saling memahami.
Pagi
itu, Chacha sedang menunggu Adit di beranda rumah. Arlojinya sudah
menunjukkan angka tujuh kurang lima belas. Ia mulai gelisah, tak
biasanya Adit terlambat menjemputnya ke sekolah.
“Cha,
kok belum berangkat? Adit mana?”, tanya Mamanya. Chacha menoleh,
“Nggak tau, Ma. Hpnya nggak aktif,” jawabnya cemas. “Kamu
berangkat aja naik angkot, nanti kalau Adit kesini Mama bilangin
kalau kamu udah berangkat. Gimana?”
Chacha
mengangguk.
Di
angkot, lagi-lagi Chacha menelepon Adit. Dan lagi-lagi pula operator
mengatakan si pemilik nomor tidak mengaktifkan handphonenya. Chacha
mendesah pelan. Ia tiba di sekolah beberapa detik sebelum bel
berdering.
“Kak,
liat Adit nggak?”
“Adit?
Dia hari ini nggak masuk, Cha. Emangnya lo nggak tau?”
Chach
a menggeleng, “Dia nggak bilang ke saya. Yaudah deh, makasih kak.”
“Halo?”
“Adit!
Kemana aja sih lo daritadi?”, suara Chacha bergetar.
“Sorry,
Cha. Hari ini aku nggak enak badan, maaf ya nggak kasih kabar dulu.
Aku tadi kesiangan bangunnya, aku pikir kamu pasti udah di
sekolah.”
“Sakit
apa? Perasaan kemarin sore masih baik-baik aja?” jawabnya curiga.
“Agak
pusing aja, sayang. Jangan curigaan gitu, dong. Aku beneran gak enak
badan. Kamu tadi nyariin aku ya?”, balas Adit.
“Ya
iyalah. Aku khawatir gara-gara kamu, tau.”
Adit
tertawa di sebrang sana, “Maaf deh. Udah dulu ya, sayang, gue ada
urusan bentar. Nanti kalo udah selesai aku sms deh. Oke? Bye...”
‘Dasar
cowok!’, umpat Chacha dalam hati. ‘Bilangnya mau sms, tapi sampe
larut malem gini masih gak ada kabar. Cepet banget sih dia berubah.’
Chacha
merebahkan tubuh di kasurnya. Pikirannya menerawang kemana-mana,
memikirkan sikap Adit. Baru kali ini pacarnya itu hilang tanpa kabar.
Apa sih yang dia lakuin? Chacha curiga Adit cuma pura-pura sakit.
Tapi ia belum bisa membuktikan kecurigaannya ini sampai beberapa hari
kemudian.
Siang
itu, di sekolah, Chacha mendekati Adit di tengah lapangan basket. Tak
ia pedulikan tatapan beberapa pemain basket cowok disana.
“Adit,”
panggilnya, setengah berteriak. Adit menoleh, agak terkejut melihat
Chacha. “Ada apa Cha?”
“Aku
mau ngomong, berdua aja.”
Adit
menatap mata Chacha, mengikutinya ke lab komputer. Disana memang
cukup sepi, para siswa lebih berminat menggunakan fasilitas hotspot
di perpustakaan atau taman sekolah. Chacha membuka pintu lab dan
duduk di kursi terdekat.
“Kamu
kemana lagi sih beberapa hari ini?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Cha,
aku pikir mulai sekarang kamu harus belajar mandiri ya, nggak usah
aku anter-jemput lagi?”
“Apa?
Kenapa tiba-tiba kamu jadi pelit bensin gini sih?”
“Bukannya
gitu, Cha..”
Chacha
mulai kesal, “Lo kenapa sih, Dit? Kok berubah gini dari
kemarin-kemarin? Aku salah apa?”
“Cha,
dengerin gue dulu. Gue cuma pengin lo mandiri aja, Cha. Lagian bulan
depan kan gue udah mulai latihan ujian. Wajar kan kalo gue mau kita
agak jauh dulu?”
“Dit,
lo mainin perasaan gue ya?”
Sekarang
gue single lagi. Dan gue nggak mau menjalin hubungan sama makhluk
yang namanya cowok lagi. Semua cowok itu sama-sama munafik. Gue benci
banget sama Adit !
tulis Chacha
di buku hariannya.
Ia
bosan menangis terus, ia bosan mengingat Adit. Cowok yang pernah
memberinya semangat namun kini mematahkan harapannya.
Hari
ini, Chacha berniat melupakan semua hal tentang Adit. Ia merapikan
seragamnya dan melangkah ke beranda. Baru saja ia membuka pintu depan
rumahnya, matanya menangkap seseorang duduk di motornya di depan
pagar. Matanya terbelalak.
“Rangga?”
Cowok
itu menoleh dan melambai, “Cha.”
Kaki
Chacha menghampiri Rangga perlahan, “Lo ngapain disini?”
tanyanya. Hati Chacha terasa agak sakit. Melihat Rangga disini justru
memutar kembali ingatannya tentang Adit yang biasanya menjemputnya ke
sekolah.
“Gue...
mau nganterin lo ke sekolah, Cha. Lo mau kan?” jawaban Rangga ini
bagai petir di siang bolong. “Maksud lo? Tumben lo jemput gue?”
“Jangan
salah paham, Cha. Gue kesini bukan mau ngejek soal putusnya lo sama
kakak gue. Gue cuma........... Cuma pengen nganterin lo doang, Cha.
Percaya deh.” Chacha melihat ke manik mata Rangga. Karena tinggal
sepuluh menit lagi waktu yang tersisa sebelum terlambat, akhirnya ia
naik ke motor Rangga dan melaju ke sekolah.
“Cha,
nanti pas istirahat ke kantin ya. Gue tunggu. Ada yang mau gue
bicarain serius sama lo. Mau kan, Cha?”
“Kenapa
nggak lo omongin sekarang?”
“Gue
butuh suasana serius, Cha. Nggak di atas motor kayak gini.”
Istirahat
tiba. Sebenarnya Chacha enggan mematuhi perkataan Rangga, tapi ia
penasaran juga. Dan disinilah ia sekarang, berhadapan dengan Rangga
di pojok kantin.
“Thanks
ya, gue tau lo pasti dateng.” Rangga memulai obrolan.
“Gue
penasaran aja, apa yang mau lo omongin?” Chacha menyeruput es
tehnya.
Rangga
tak langsung bicara, ia menatap Chacha dalam-dalam. Ia menatap mata
hitam gelap milik lawan bicaranya ini. “Cha, jangan salah paham
ya..”
“Jujur,
Cha. Gue nggak bisa lupain lo.”
Chacha
tersedak es teh.
“Kaget
ya Cha?” Rangga terdiam sejenak, “Gue minta maaf ya, dulu gue
bener-bener bego. Ngelepasin elo demi Jessi. Tapi gue nggak pernah
bisa berhenti mikirin lo, Cha. Apalagi setelah lo jadian sama Adit.”
Mendengar
nama Adit, hati Chacha kembali tergores.
“Lo
sama kakak lo itu sama aja ya. Emang lo diputusin Jessi? Trus biar
nggak dianggap pecundang, lo mau balikan sama gue? Sorry ya, trik lo
itu kuno.”
“Cha,
gue mohon jangan salah paham. Lo nggak bisa ngelihat kalo gue tulus
minta maaf sama lo? Gue yang putusin Jessi, gue nggak bisa nemuin
rasa bahagia waktu jalan sama dia, Cha. Cuma elo yang kebayang di
otak gue. Gue Cuma mau minta maaf untuk saat ini, gue nggak
ngeharepin yang lebih dari itu. Gue tau berat banget buat lo maafin
kesalahan gue waktu itu. Tapi...” Rangga menarik napas panjang, ia
menyentuh tangan Chacha, “Tapi gue mohon...”
“Cuma
ini yang lo mau omongin? Kalo Cuma ini gue mau balik ke kelas ya.
Simpen aja permohonan maaf lo itu, gue nggak perlu kok. Salam ya sama
Jessi.” Chacha berniat pergi dari kantin, namun Rangga sudah
menyesuaikan langkah di sampingnya.
“Lo
masih sayang kakak gue ya?” tanyanya menyelidik.
Chacha
berhenti melangkah, ia memelototi Rangga. “Apa hak lo nanya-nanya
urusan pribadi gue?”
“Bener
kan tebakan gue?”
“Kalo
bener, trus kenapa? Gue emang masih sayang Adit, tapi gue pasti bisa
lupain dia, sama kayak gue ngelupain elo.”
Bicara
memang mudah, tapi membuktikannya sulit. Sampai satu bulan pun Chacha
terkadang masih mengingat Adit. Chacha menutup wajahnya dengan buku
fisikanya, berharap otaknya melupakan cowok itu.
“Chacha.”
Suara
yang familiar, Chacha hampir tak bisa mempercayai apa yang ia lihat.
“Elo
? Ngapain ke kelas gue?” ia kembali meletakkan buku di atas
kepalanya.
“Ada
yang mau gue bicarain..”
“Sebulan
yang lalu juga adik lo bilang hal yang sama. Mau bilang sekarang lo
mau minta maaf?”
Adit
menarik buku cetak fisika itu dari wajah Chacha. “Lebih dari itu,
Cha.”
Chacha
mendengus, “Jangan bicara apapun. Gue nggak mau denger, pergi aja
lo.”
“Cha,
please.. Gue harus bilang ini ke elo.. ikut gue ya, ke taman, ketemu
sama Rangga juga. Please?”
“Oke.
Gue mau tau, sejauh mana lo bedua mainin perasaan gue,” jawab
Chacha geram.
Keduanya
tiba di taman sekolah dalam waktu singkat. Disana Rangga sudah
menunggu, ia tersenyum pada Chacha yang hanya membalasnya dengan
tatapan kosong. Jam istirahat masih tersisa setengah jam lagi.
“Cha,
lo tau alesan gue ngejauhin lo waktu itu?” tanya Adit. Chacha tak
menjawab. Rangga meneruskan kalimat Adit.
“Sebenernya,
yang terjadi sore beberapa minggu yang lalu itu, gue sama Adit
berantem, Cha.” Masih tak ada reaksi.
“Gue
yang salah.. Gue marah-marah ke Adit. Gue minta dia patuhin kewajiban
dia sebagai kakak. Lo tau kan, Cha. Sebagai kakak, harusnya dia
ngalah buat gue, tapi nyatanya selama gue hidup di dunia ini,
hubungan gue sama Adit nggak pernah akrab. Paling-paling Cuma bicara
seperlunya aja. Dan sore waktu itu, gue ungkapin semua kemarahan
gue.” Rangga berhenti untuk menarik napas sejenak.
“Gue
minta dia sekali ini aja ngalah buat gue. Dan satu-satunya yang gue
minta dari dia, satu-satunya hal yang paling berharga.” Rangga
menatap Chacha, “Elo, Cha.”
Chacha
melirik kedua kakak beradik ini. Seriuskah mereka?
“Setelah
itu, Adit nggak bilang apa-apa lagi kecuali ‘gue
udah ngasih hal terbesar di hidup gue. Jangan kecewain gue.’
Dan gue mulai deketin elo lagi. Setelah ini, lo tau sendiri kan
gimana cerita selanjutnya. Dimana lo nggak nanggepin gue, dan malah
semakin jauh dari gue. Waktu itulah gue sadar, kalo hati lo bukan
milik gue lagi.”
Bagus
kalo lo nyadar!
Seru Chacha dalam hatinya.
Adit
angkat bicara, “Apa yang Rangga bilang itu bener, Cha. Gue mohon lo
ngerti. Gue juga nggak bisa bohong Cha, gue sayang elo. Rangga bilang
dia nyerah dapetin lo lagi, dan gue nggak bisa untuk nggak deketin lo
lagi Cha. Lo nggak tau betapa tesiksanya gue waktu jauh dari lo. Gue
juga sakit, Cha, ngelepasin elo meskipun sama adik gue sendiri.”
“Bagus.
Sekarang semuanya udah kebongkar kan? Udah jelas sekarang apa yang lo
berdua lakuin ke gue. Nyadar nggak sih kalo gue sakit banget denger
semua ini? Kalian pikir gue ini apa? Lo anggep apa perasaan gue?”
berondong Chacha, susah payah ia menahan air matanya agar tidak
bergulir. Tak pernah ia duga, betapa sulit menahan emosinya di depan
dua orang yang pernah ia sayangi dan pernah mengisi hari-harinya.
Chacha marah.
“Sekarang
lo bedua minta gue ngerti? Apa lagi yang harus gue ngertiin? Lo
berdua Cuma nganggep gue boneka aja kan? Yang bisa di buang kalo
nggak dibutuhin, yang bisa di oper kesana-kesini, trus minta
dibalikin kalo lagi butuh? Maaf ya, gue nggak serendah itu!”,
teriak Chacha. Usahanya menahan air mata gagal. Ia biarkan satu demi
satu membasahi pipinya, merobohkan pertahanannya selama ini.
“Cha,”
Rangga menghapus air mata di pipi Chacha, namun tangan Chacha dengan
cepat menepisnya.
“Cha,
ini salah gue. Jangan marah ke Adit, gue mohon? Kalo lo mau salahin,
salahin aja gue. Kalo lo mau benci, benci aja gue, jangan dia.
Please?”, dengan lembut Rangga memohon.
“Simpen
aja semua permohonan lo itu, gue nggak akan denger satu alesan pun
dari lo berdua. Mulai sekarang, jauhin gue, gue nggak butuh kalian
berdua.”
Beberapa
pagi ini, Chacha selalu bangun lebih awal dan berangkat ke sekolah
lebih cepat dari biasanya. Ia juga jarang berkeliaran di sekolah saat
istirahat dan pulang sekolah. Satu-satunya alasan adalah menghindari
Adit yang kembali sering menjemputnya. Chacha belum bisa menerima
semua ini. Ego dan harga dirinya belum bisa memaafkan mereka,
meskipun Chacha tau, nggak mudah bagi mereka mengakui semua itu.
Seperti
pagi ini, Chacha hampir bertemu Adit di beranda depan. Ketika motor
Adit muncul di kejauhan, buru-buru Chacha menaiki angkot.
Adit
tiba lebih dulu di sekolah. Ia sengaja menunggu Chacha turun dari
angkot. Chacha memutuskan untuk masuk ke sekolah melalui pagar
samping, bukan melalui gerbang utama seperti biasa. Cepat-cepat ia
melangkahkan kaki ke koridor kelas XII, sambil melirik memastikan
Adit tidak melihatnya.
“Eh,
ini kan cewek yang direbutin Adit sama adiknya itu kan?”
Chacha
menoleh ke sumber suara. Gerombolan kakak kelas cowok duduk di
sepanjang koridor yang ia lalui. Sejenak ia menyesal telah melalui
koridor ini.
“Iya,
nih ceweknya. Apa sih bagusnya? Sampe direbutin gitu?” timpal
seorang cowok di hadapannya.
Chacha
berusaha terus berjalan tanpa memperdulikan mereka. Namun langkahnya
terhenti ketika tangannya ditahan cowok bertubuh tinggi.
“Lepasin
saya, kak!”
“Bener
kan lo jadian sama kakak beradik itu? Dua orang yang sok jadi jagoan
di sekolah ini?”, tanyanya sinis sambil mengamat-amati Chacha dari
atas ke bawah.
Chacha
menelan ludah.
“Sa..Saya
nggak punya hubungan apapun dengan dua orang itu.”
Kata-kata
Chacha disambut dengan tertawaan yang bergema di koridor.
“Masih
kecil berani-beraninya bohong,” ujar cowok tadi di sela-sela
tertawanya.
“Maaf,
gue rasa, kakak gue nggak bakal seneng ngeliat pacarnya ditahan
disini,”
Suara
itu membuat Chacha lega sejenak. “Rangga?”
Spontan
mereka menghentikan tawanya. Setelah bertatapan beberapa lama, cowok
itu melepaskan tangan Chacha. Rangga langsung menggamitnya dan
mengantar Chacha sampai ke kelasnya.
“Thanks”
“Cha,
lo nggak kasian liat kakak gue?” tanyanya memandang Adit yang masih
menunggu di gerbang sekolah. Chacha tak menjawab.
“Gue
yang liat aja kasian, Cha. Sampai kapan hati lo tertutup terus?”
“Jangan
bicarain itu, gue nggak suka.”
Rangga berhenti sejenak, “Lo nggak bisa liat ketulusan di mata dia, Cha?”
Rangga berhenti sejenak, “Lo nggak bisa liat ketulusan di mata dia, Cha?”
Begitu
bel pulang berbunyi, Chacha langsung digandeng Rangga menuju tangga.
Dari jauh, Chacha sudah melihat Adit menunggu disana. Chacha segera
berontak, tapi Rangga menahannya. “Cha, ini hal terakhir yang mau
disampein Adit.”
Sampai
dihadapan Adit, Rangga sengaja meninggalkan mereka berdua. Chacha
diam.
“Happy
Birthday, Challista Aura.”
Chacha
mendongak, “Apa?”
“Gue
bilang, happy birthday, Challista Aura, Happy sweet seventeen” Adit
mengulang.
Sempat
terbengong beberapa saat, Chacha menepuk dahinya.
“Gue
nggak inget....”
Adit
tersenyum. Perlahan ia memegang tangan Chacha.
“Gue
nggak bisa bicara apa-apa lagi. Apa yang ada di hati gue udah pernah
gue ungkapin ke lo. Asal lo tau, gue berdiri disini dengan sisa
kekuatan gue, Cha. Dengan sisa keberanian dan harga diri gue. Ini
penghabisan,”
“Maksud
lo apa?”
“Gue
minta maaf. Cuma ini yang gue bisa bilang.”
Suasana
hening sejenak. Perasaan Chacha tak karuan. Hatinya tersentuh, tapi
terbayang lagi apa yang pernah Adit lakukan.
“Ini
suprise buat lo.”
Adit
menggandeng tangan Chacha menuruni tangga. Mata Chacha terbelalak, ia
terkejut melihat apa yang dipersiapkan Adit untuknya. Tubuhnya
terdiam beberapa saat. Matanya merayapi lili putih cantik yang
berjejer di sepanjang tangga, entah berapa lusin bunga lili yang di
rangkai indah bahkan di dinding sekolah sekalipun. Di anak tangga
paling bawah, Chacha melihat sebuah kue tart coklat menggoda dengan
angka 17 di atasnya. Seolah belum cukup, terdengar alunan musik
lembut dari tujuh belas anggota ensembel pilihan, yang berdiri agak
jauh dari tangga sambil memainkan gitar, biola, dan keyboard. Tampak
Rangga asyik memetik gitarnya. Lagu klasik ‘happy birthday’
menggema.
Chacha
tak berkedip menatap semua ini.
Adit
menggandengnya turun sampai ke depan kue tart itu.
Tanpa
disuruh, Chacha berdoa dalam hati semoga
gue dan orang-orang disekitar gue mendapatkan kebahagiaan sejati,
dan kemudian ia meniup lilinnya.
Barisan
ensembel selesai memainkan alat musiknya. Jessi yang memimpin, ia
mengucapkan selamat ulangtahun, diikuti seluruh teman-temannya.
Chacha masih tak percaya ini kenyataan. Usai mengucapkan selamat
ulang tahun, mereka kembali ke ruang musik untuk mengembalikan
peralatan.
“Dit,
ini bukan mimpi kan?”
Adit
tertawa kecil.
“Gimana
bisa lo nyiapin ini semua?”
“Jangan
tanya itu, Cha. Oya, gue punya kado nih,” ia mengeluarkan kotak
berbungkus kertas kado. Chacha menatapnya tak percya. “Dit, semua
ini udah bikin gue shock, dan lo masih nyiapin kado lagi?”
Bukannya
menjawab, Adit justru memindahkan kado itu ke tangan Chacha. Cukup
berat.
“Silahkan
kalo lo mau buka.” Chacha menatap kado itu sejenak. Tiba-tiba
hatinya terasa berbeda. Rasa sakit dan kecewa mulai menghilang.
Chacha merasakan apa yang Rangga bilang tadi pagi, ketulusan.
Chacha
membuka kotak kado itu. Ia tersenyum melihatnya. Satu kotak penuh
coklat berbagai ukuran yang berbentuk angka 1 dan 7, dan ada satu
yang paling besar, bertuliskan namanya. Challista Aura.
“Thanks,
tau aja kalo gue kangen makan coklat,”
“Coklat
kan bisa ngobatin hati yang sakit,” jawab Adit.
“Eh,
mau cicipin kuenya?”
Chacha
mengambil pisau dan memotong kue tart itu, suapan pertama untuk Adit.
Suapan kedua untuk dirinya sendiri.
“Dit,”
“Apa?”
“emm,
makasih ya, semuanya perfect. Gue suka.”
“Gue
seneng kalo lo suka,” ujarnya tersenyum. Chacha juga ikut
tersenyum.
Chacha
bahagia, tak hentinya matanya berbinar. Binar yang telah lama tak
lagi terlihat.
“Gue
sayang lo, Dit.”
Adit
menoleh, alisnya terangkat. “Nggak salah denger?” Chacha
menggeleng.
“Lo
sayang gue?” ulang Adit memastikan. Chacha mengangguk pasti, “Itu
yang gue rasain sekarang.”
Adit
tersenyum. Ia menggenggam tangan Chacha lagi, menatap mata Chacha
yang baru saja memberikan kelegaan di hatinya. Chacha telah kembali !
“Gue
masih tetep kayak dulu, sayang banget sama lo, Cha.”
“Kalo
sayang, sini dong, aku mau bisikin sesuatu.”
Adit
mendekatkan telinganya pada Chacha, “Apa?”
Dan
saat itu sisa kue tart mendarat di wajahnya.
“CHACHAAAAAA
!!!!!!!!!!”
THE
END
MOHON KOMENTAR DI BAWAH YA
MOHON KOMENTAR DI BAWAH YA
keren brot, gk nyangka gw lo bisa bikin ginian.
BalasHapushahaahaa ini emg ngarang sendiri ato kisah pengalaman pribadi d masa lalu? wkwkwk
BalasHapuskeren juga critannya, tp capat bacanya sat...
BalasHapuswkwkwkwk...
tu lo buat sndiri apa ngambil ??
wkwkwkwk hebat kn yg buat cerita. wkakak
BalasHapuskeren., kembangin bakanmu teman!
BalasHapusbgus bgus/luar biasa. lanjutkan. kalo bisa buat cerita yang endingnya kematian. lbh keren tuh.
BalasHapusyoi keren banget dod..
BalasHapusharusnya, endingnya pass lg ngerayain ultah, trus ada teroris ngebom skolah tu, abis tu mati smua, kn sedih critannya...
Hapuswkakakakak
keren ceritanya...
BalasHapuslanjut terus!
Ciye..so sweet amat ceritanya .. :p
BalasHapusJangan ampe nyebut nama sekolah lain. kalo tersinggung gimana tuh.
BalasHapuskeren juga ni ctrita upte lg dong :2thumbup
BalasHapusseorang bisart nulis gini? ngambil apa nulis nih gan?
BalasHapusudah ane komen gan
BalasHapusane kmen gan,, kalo berkenan bisa juga dtg ke blog ane,, aloneranger.com
BalasHapushmmm... kereeen... btw..niih karangan pa real,gan?
BalasHapusid kaskus "roadve"
komen nya kok gini amat yah? -,- kasih saran kek. gk jadi ah cendol nya
BalasHapuscendol buat ane dong :p
Hapusuda sist apa agan ini? :ngakak
HapusCerita udah bagus, udah dapet lah karakternya
BalasHapusPemilihan kata juga udah bagus gan
Dan alur ceritanya jelas konsepnya juga udah jelas
dari ane, ane kasih nilai 10 deh buat ceritanya
Pendapat gue yah..
BalasHapusUWEEEEEEKKKKKK
Sinetron banget!!! hahahaha
Gue bacanya ngakak sambil merinding ngilu2,,
Padahal gue cewek loh,,
Geli aja gitu bacanya..
Apalagi yang endingnya wkwkwkwk
Cara penulisan sih sebetulnya udah bagus gan..
Kayak lagi baca novel2 yang ada di Gramedia lah..
Mungkin agan bakat nulis?? hehe
Tapi storynya basi *Jujus+serius
Cerita yang model2nya dan endingnya begitu banyak banget bisa ditemuin di komik2 shojo atau novel2 teenlit..
Begitu masuk bagian2 mo terakhir gitu,, udah ketebak aja akhirnya mo kayak gimana..
Saran gue,, coba think out of the box
Bikin cerita yang endingnya di luar ekspektasi..
Bikin orang penasaran dan kesel sm ceritanya..
Btw TSnya cowok atau cewek sih,, penasaran gue..
Oiya segitu aja komennya..
Sori kalo kepanjangan dan terlalu ceplas ceplos
Jangan dimasukkan ke hati tapi masukkan ke ide ya gan
Jujur yee, gan... cerita agan standar banget... Gampang ketebak...
BalasHapusDari penulisan udah bagus dan gaul abis... Cuma dari segi cerita yah gitu deh...
Kalo bisa cari cerita yang lebih susah ditebak, gan... Biar ga bosen bacanya...
Good luck, gan!!
Nice story gan, btw pengalaman pribadi atau bnar2 fiksi??? Like it
BalasHapusLUmaayan gan, tp ending standart. bbisa ktebak!!
BalasHapus(siiaa14)
ceritanya ane banget gan.. jadi teringat masa lalu,Btw...bagus gan cerita"nya..di lanjutkan dan di tunggu post berikutnya,ijin bukmark ya :)
BalasHapussip bagi yg coment cendol melucur :D
BalasHapushmmm ceritanya dikit2 mirip pengalaman pribadi ane.. kek dejavu aja gan hahahaa.. nice story lanjutkan gan. kalo bisa sharing semua pengalaman pribadinya sapa tau ada yg dejavu juga :P ( guidave )
BalasHapusBagus bro, cuma sayang endingnya agak klise
BalasHapusCoba dikasih twist dikit makin bagus keknya hehe
Overall 7/10
jadi mewek nih bacanya, seandainya ada cowok yg rela nglakuin itu smua buat ane :hammer
BalasHapusnice story gan, keknya berbau real story nih :D
by :TheReal9 :beer:
Menarik banget bro ceritanya, menunjukan ketulusan dan usaha seorang cowok yg tak putus asa buat ngeyakinin cewek yg dia sayang..
BalasHapusby : mochwildanz
Kirain ini resep kue tart gan...:D
BalasHapuskeren gan cerita.y....
ending.y gw mikir si adit mau ngucapin kata terakhir krn dia sakit keras n bakal mati...*kisah klasik* ternyata kagak :hammer:
ada yg bisa d petik sih gan dri cerita.y...
Klo kesabaran menunggu cinta itu bakal ngebuahin hasil terbaik jg...:D
bahasanya sih lumayan bagus, enak buat dibaca, satu kali baca bisa terbayang bagaimana situasinya saat itu, cuma memang dari segi cerita itu terlalu standar, nggak ada surprise2 ato apa..
BalasHapusseperti lupa ultah, itu kayaknya klise banget apalagi buat 17an, dimana semua orang jauh2 hari sebelum hari H sudah di rencanakan mau apa.
btw, saya suka cara nulisnya, hanya cerita perlu di kembangkan lagi.
boleh nih bro ceritanya , mayan juga ,
BalasHapuspanjangan dkit lagi mungkin jadi novel kali yah ?
da lama ga baca love story jadi gimanaaa gitu
nice
keren gan ceritanya :D
BalasHapus