Delayed
By : The Forgotten
One
Dina menitikan air
matanya di hadapan Roby.
Tak ada yang bisa ia
perbuat.
Roby pun hanya bisa
memberikan sapu tangan kepadanya untuk menghapus airmata dari wajah sedih itu.
Roby pun merangkul
Dina dan mengajaknya pulang dan meninggalkan makam sang ayah karena hari sudah
mulai gelap…
Matahari pun
menampakkan senyumnya,
Roby bergegas siap
'tuk berangkat ke sekolah. Biasanya Roby menelepon Dina untuk menawakan
tumpangan karena arah rumahnya dan arah sekolah kami sama. Tetapi,
sepeninggalan ayahnya, Dina tak pernah mengangkat telepon dan jarang pula
membalas pesan singkat yang Roby kirimkan. Disekolah pun sekarang dia dan Dina
jarang bertemu. Sekarang Dina lebih banyak diam di kelas, duduk menunduk dengan muka yang ditutupi oleh rambut
panjangnya.
Karena sudah terlalu
lama diabaikan, Roby memberanikan diri bertemu dengannya. Sehabis dari kantin,
Roby berjalan ke kelas Dina..
“Hai Din?” ucap Roby
pelan.
“Hai Rob,” jawab
Dina, mendongak sedikit, kemudian terus mengerjakan tugas kimianya.
Sedikit gemas, Roby
kembali bertanya, “sedang apa Din?”
Belum sempat
dijawab…
“Teeeeeeeetttttt”
bunyi bel tanda selesainya istirahat tanpa disadari memenuhi seantero ruangan.
Dina pun tetap
mengerjakan tugasnya tanpa menghiraukan pertanyaan Roby.
“Roby! Maju dan
kerjakan halaman 34 no 4 b!” perintah pak Abe, guru matematika yang botak dan
terkenal disiplin, sedikit keras dalam mengajar. Logatnya kental sekali, karena
pak Abe asli berasal dari Sumatera Utara.
Roby pun maju dan
mengerjakannya tanpa kesulitan. Maklum, ia sendiri pernah memperoleh juara
kedua dalam olimpiade matematika seprovinsi.
Tetapi tak muncul
sedikit rasa senang dari wajahnya setelah berhasil mengerjakan soal dan
dipuji dikelas.
Roby masih
memikirkan Dina.
Kemampuan
matematikanya tak mampu menghitung berapa besar perubahan yang terjadi pada
Dina.
“Dinaaaaaa!” teriak
Roby dari kejauhan. Ia berlari kecil menghampiri gadis itu.
Sambil menutup buku
novelnya Dina menjawab.
“apa Rob?”
“pulang gue anter
yuk?” ajaknya ramah.
“gue dijemput kakak,
sekalian dia pulang kuliah,” jawab Dina.
Tak seberapa lama
kakak Dina pun datang dan mereka langsung pergi, meninggalkan Roby yang
termangu di lapangan parkir.
Malam minggu tiba.
Handphone Dina
berdering, ternyata ada pesan singkat dari Roby yang mengajaknya nonton . Dina
pun mengetik sms sambil mengemut permen lollipop dimulutnya.
Di sebrang sana,
kekecewaan muncul dari wajah Roby, karena Dina menolak ajakannya untuk nonton.
“halo Din?” ucap
roby menelpon Dina
“apa?”
“gue ada didepan
rumah kamu Din, keluar dong, ngobrol bentar.”
Dina pun terkejut
bukan kepalang, sambil mengintip kebawah melalui jendela kamarnya, Dina
menjawab berbohong “gue lagi diluar rumah Rob, sorry.”
Telepon pun langsung
diputus.
Istirahat keesokan
harinya, Roby bergegas ke kelas cewek yang sudah seminggu ini mengabaikannya.
“Din, gue mau
ngomong sama kamu!”
Tangan Dina ditarik
secara paksa , tetapi Dina tidak memprotesnya sedikitpun.
“Kamu mau ngomong
apa?” tanya Dina sesampainya di belakang sekolah.
“Kenapa sih kamu
berubah terhadap gue semenjak kejadian itu?” ujar Roby pelan , dibenak Roby pun
terfikir seandainya dia menyampaikan perasaannya lebih cepat , mungkin semua
tidak berjauhan seperti ini..
“………” Dina hanya
terdiam sambil menunduk.
“Din?” Roby pun
memegang kedua tangan Dina yang dingin, sedingin es.
Mereka berdua
membisu. Entah berapa lama, hingga bel sekolah memecah kebisuan mereka.
Dina hanya berkata,
“sorry Rob,” dengan cepat Dina melepaskan tangannya dari genggaman Roby.
“Aku cinta sama kamu
Din, Aku cinta sama kamu!” dengan keras Roby berteriak kearah Dina yang
membelakanginya.
Langkah Dina pun terhenti
sejenak, hatinya sakit mendengar kata-kata Roby. Airmata membasahi pipi Dina.
Aku juga sayang
kamu, Rob.
“Sorry Rob gue gak bisa!” ucap Dina pada Roby
sebelum meninggalkannya sendiri.
“ting tung” bunyi
bel pintu rumah Dina berbunyi.
Dina termenung
sejenak.
Sambil membereskan
buku Biologi yang baru saja dipelajari Dina pun berdiri dan berjalan menuruni
anak tangga untuk melihat siapakah yang menekan bel pintu. Belum juga ia
sampai, ternyata ibundanya memberikan sepucuk surat berasal dari tukang post
yang baru saja pergi. Dina pun berjalan kembali ke kamarnya dengan membawa
surat itu bersamanya.
Dina merebahkan diri
di kasurnya dan mulai membuka amplop surat.
Dear Dina
Dina, mungkin kamu tak mau
membuka surat ini kalau kamu tahu aku pengirimnya. Din, aku sudah tau semuanya
dari kakak perempuanmu. Aku sudah tahu
kenapa kamu berbuat seperti ini kepadaku. Aku menghormati apa yang diamanatkan
ayahmu kepadamu, sebuah amanat untuk tidak mencintai seseorang di masa SMA ini.
Tetapi aku tak dapat menyembunyikan
perasaan aku. Kita sudah terlalu dekat untuk dua tahun. aku tak bisa memaksamu
untuk mencintai aku. Bersamaan dengan surat ini aku ingin memberitahumu bahwa aku mendapat beasiswa belajar di luar kota. Terlalu mendadak ya?
Mungkin saat ini aku dalam perjalanan. Jadi esok hari aku tak sekolah bersamamu
lagi
Selamat tinggal my
beloved girl
Love
Roby
Lagi-lagi air mata
menetes dari mata yang indah itu.
Tak megerti perasaan
yang dirasakannya, hanya rasa kesedihan yang ia mengerti, rasa kehilanganpun
muncul didalam hatinya, kehilangan seseorang yang dari dulu ia cintai..
Ringtone dari handphone dina memecah keheningan di
kamar Dina.
“Ha, halo?"
isak tangis masih terdengar dari bibir Dina.
“Dina?” suara kakaknya menyapa.
"iya kak?”
“ Kamu siap-siap
yach, temenin kakak belanja. Mau??”
“baik kak.. kakak
udah dimana sekarang?” jawabnya sambil membuka lemari pakaian.
“lima menit lagi
kakak sampai..”
“oke.”
Tidak lama kakak Dina sampai.
Di perjalanan kakak
Dina yang mengerti kesedihan adiknya, menceritakan semuanya tentang Roby tetapi
terlambat, Dina sudah terlanjur sedih atas kepergian Roby.
Tanpa disadari
ternyata mereka sampai di bandara.
“kak kita mau
kemana?” ujar Dina
“temui teman kakak
dulu din..”
Ketika Dina menoleh
keluar mobil, terlihat Roby yang tersenyum dari kejauhan.
Bagai tersihir, Dina
langung turun dari mobil dan lari menghampiri Roby. Dina pun memeluk Roby
dengan eratnya sambil berkata dengan pelan “ maafkan aku ya Rob.."
Roby pun membalas
pelukan Dina dan berkata “aku akan balik lagi kok Din. Gak usah sedih. Kalau
aku kembali, kita pasti udah lulus SMA, dan kamu nggak melanggar pesan ayahmu.”
Dina pun mengangguk
sambil memeluk Roby lebih erat sebelum melepaskan pelukannya perlahan.
Roby mengecup kening
Dina “aku gak akan lupa sama kamu Dina, aku akan balik lagi ke kota ini. Ingat
janjiku.”
Dina tak berkata
apapun kecuali tersenyum manis, memandangi Roby menenteng koper berjalan
perlahan meninggalkannya..
august 19th 2012
Tulisan
ini akan dilanjutkan setelah ada ide….