Gara-gara permintaan
(baca: paksaan) seorang temen yang gua lupa namanya, buat bikin cerpen lagi,
jadi di sinilah gua sekarang, depan laptop, mencoba merangkai ide-ide yang
berseliweran. Selamat menikmati ...
Love Liar
Oleh SBDB
“Kita putus!”
Teriakan Nina
menggelitik telinga Arneta. Arneta tersenyum kecil. Membayangkan wajah cowok
brengsek itu usai diputusin Nina. Biar tau rasa!
Beberapa detik
kemudian kedua sahabat itu sudah berada di mobil Arneta, meluncur ke rumah
Nina. Nina diam sepanjang perjalanan, bahkan ia hanya mengucapkan terima kasih
pelan saat Arneta menurunkannya di depan rumahnya.
Keringat mengalir deras membasahi seragamnya.
Arneta menatap si matahari, tak mengerti kenapa ia begitu bersemangat menyinari
bumi hari ini.
“Arnetaaaaaaa !”
panggil Cerri nyaring. Arneta menoleh, menangkap handuk kecil yang ia
lemparkan. “Kantin yuk, gue denger Ricko ada disana. Yuuuk,”ajak Cerri
bersemangat.
Di pintu kantin,
Cerri toleh kiri kanan, mencari sosok tinggi berkulit gelap bernama Ricko. Ia
mendesah kecewa begitu tahu orang yang dicarinya tak ada di kantin. Arneta
mengamati roman wajah sahabatnya itu, wajah orang jatuh cinta.
“Aduh orang
kasmaran, yang dicari Cuma doi doang,” omelnya sambil memesan mie ayam spesial
dan es teh. Cerri duduk di kursi panjang.
“Cer, kenapa sih lo
nggak mau dengerin gue? Lo lupa kejadian Nina dua tahun yang lalu? Ricko itu
cowok playboy, Cer. Emang pertamanya Nina juga kayak elo, nggak percaya sama
gue, sampe gue berhasil fotoin cowok itu sama cewek lain. Baru deh dia mutusin
Ricko. Sialnya, kita masuk SMA yang sama kayak Ricko dan sekarang dia ngincer
elo!” celoteh Arneta sedikit gemas. Cewek manis di hadapannya ini sama sekali
tak mendengarkannya, padahal Arneta tahu persis siapa Ricko Andromeda itu.
Terbayang kembali di benaknya peristiwa saat Nina –sahabatnya yang sudah pindah
ke Palembang- marah besar waktu tahu Ricko, pacarnya berani selingkuh dengan
cewek lain. Arneta sendiri yang memotretnya waktu ia ke mall.
“Cerri !” tegur
Arneta keras.
“Iya iyaa, nggak
pake emosi kali, mbak. Gue toh belom jadian sama dia, lo tenang aja deh, oke?
Nah mending sekarang abisin tuh makanan lo trus temenin gue ke toilet.”
“Yaah masa ke toilet
aja minta di temenin?” celetuk sebuah suara. Kedua cewek itu mengangkat
kepalanya serentak. Rega, kakak kelas mereka duduk manis di hadapan Arneta.
“Sejak kapan....”
Arneta langsung waspada. Apa dia denger kata-kata gue tentang Ricko ya? Dia kan
satu kelas sama cowok gila itu. Gawat nih.
“Baru aja duduk,
kenapa?” jawabnya sambil tersenyum.
Arneta kembali
menikmati mie ayamnya, tapi diam-diam ia bernapas lega.
“Kakak ini Rega kan?
Kelas XII Ipa 5? Sekelas Ricko dong?” berondong Cerri. Arneta melihat Rega
mengangguk samar. “Kalo gitu, kakak tahu nggak Ricko dimana?”
“Sayangnya nggak
tau, hehe. Elo yang namanya Cerri kan? Kalo gitu, yang ini Arneta ya?”
“Kakak tau
darimana?” Cerri balik bertanya.
Rega menggaruk
kepalanya sebentar. “Ada deeh,” jawabnya asal “Arneta? Kok diem aja sih?”
Bukannya menjawab,
Arneta malah beranjak mendekati Mbak Sri, membayar makanannya. Ia melirik Cerri
sebentar, dengan tatapan yang seolah berkata
elo-mau-tetep-disini-apa-ke-toilet?
“Em.. Kak, aku sama
Arneta duluan ya,” Cerri melambai pada Rega yang masih menatap Arneta
penasaran.
Di toilet, Cerri
mencerca Arneta habis-habisan.
“Elo tuh kenapa sih
Ar? Kak Rega kan nanya baik-baik, kenapa nggak dijawab? Kasian tau dia lo
cuekin gitu.”
“Suka-suka gue lah.
Lagian siapa suruh dia asal nyelonong aja duduk di depan gue? Mengganggu tau
nggak?”
“Ya ampun Ar ..”
Arneta mempercepat
langkahnya, meninggalkan Cerri di belakang begitu matanya menangkap sosok Rega
di kejauhan. Tapi Rega, yang memperhatikan dua cewek itu langsung menghampiri
mereka.
“Hai, Ar.”
Kali ini tampaknya
Rega tahu Arneta tetap tak akan buka mulut. “Gue Cuma pengin temenan sama lo
dan Cerri, tapi kayaknya cara gue salah, ya. Maaf kalo gue ganggu lo.”
Arneta mendadak
menghentikan langkahnya, “gue sama Cerri tuh bukan nge-geng, jadi kalo mau
temenan nggak harus minta ijin konyol kayak lo tadi. Cuma harus bisa nempatin
diri di saat yang bener. Dan lo nggak lulus ujian ‘penempatan diri’ itu!”
Rega menyembunyikan
senyumnya, “Tapi gue mau temenan sama lo bedua, boleh kan?” ia memperhatikan
Arneta menuju motornya.
Arneta mendelik
sesaat, lalu segera menstarter motornya dan cabut dari situ.
“em.. Kak, jangan
ambil hati ya kata-kata Arneta tadi. Dia emang gitu. Moody. Hari ini dia
khawatir berlebihan sama mamanya yang lagi sakit. Jadi, yaa kakak yang kena
deh,” papar Cerri. Ia tak berani menatap mata Rega lama-lama.
“Gak pa-pa kok,”
Rega tersenyum, “Mamanya Arneta sakit apa?”
“Katanya sih sakit
kepalanya kambuh kak, malah beliau pernah pingsan tiba-tiba. Harusnya Arneta
nggak mau sekolah hari ini, tapi mamanya nggak ngijinin. Kasian loh dia, kak.”
“Oya? Lo ada waktu
sebentar?”
“Masa sih? Tapi
Arneta nggak kelihatan punya beban seberat itu ya?” Rega belum bisa
mengendalikan keterkejutannya.
“Memang,” Cerri
menyeruput milkshake-nya.
“Arneta itu cewek
paling kuat yang gue temuin, kak. Kalo ayahku dipenjara kayak papanya, apalagi
mendadak jatuh miskin, mungkin gue nggak mau sekolah lagi.”
“Tapi gue masih
nggak habis pikir, kok ada ya cewek setegar dia.”
“Iya kak. Dulu
Arneta itu kaya banget. Paling kaya malah di sekolah. Semua yang dia punya
pasti bermerk. Tapi dia nggak pernah nunjukin kekayaannya kak. Nggak pernah
bawa barang-barang mahal ke sekolah,” Cerri mengetuk-ketuk meja kayu di cafe
itu. “Pas ujian kelulusan SMP, perusahaan papanya bangkrut. Keluarganya
berusaha perbaikin semuanya dengan jual barang-barang di rumah mereka, tapi
tetep nggak bisa. Setelah semuanya habis, papanya pinjem uang. Dan nggak bisa
bayar....”
“Jadi itu sebabnya
papanya dituntut dan sekarang lagi ditahan?”
Cerri mengangguk,
“Tapi yang tau semua itu Cuma beberapa orang. Arneta bisa lulus dan masuk SMA
ini dari kerja keras mamanya yang usaha rumah makan kecil kak. Aku nggak bisa
bantu banyak waktu itu. Arneta memang nggak ngeluh soal keadaannya, tapi sejak
itu dia jadi pendiam banget kak. Kalo ngomong juga rada jutek. Cuma sama gue
aja lebih sering ngomong.”
“Kakak jangan kasih
tau Arneta ya? Kakak suka sama dia kan? Kalo aku bener, tolong jagain Arneta
ya.”
Rega tertegun.
Masuk!
Satu lagi tembakan
Arneta masuk ring dengan sempurna. Ia meraih lagi bolanya. Kali ini ia
membelakangi ring, mencoba shoot ke belakang.
Arneta melepaskan
tembakannya dan berbalik untuk melihat bolanya.
“Aw!”
Waduh! Dia lagi.
“Sorry, gue nggak
sengaja..” spontan Arneta berlari kecil kearahnya. Rega mengelus-elus
kepalanya.
“Emm.. Elo gak
apa-apa kan?”
Cowok itu melirik
Arneta sedikit, “Nggak kok, gue baik-baik aja.”
“Beneran? Sekali
lagi, sorry ya,” kata-kata Arneta dibalas senyuman.
Rega mengangguk,
“Jago banget lo main basket.”
“Thanks.”
Arneta berjalan
pelan menuju kelasnya, sementara Rega mengekor di belakang. “Lo ngapain ke area
kelas sebelas?” tanya Arneta. “Emang kenapa? Gue Cuma pengin ngobrol lebih
banyak sama lo.”
“Cer, Arneta mana?
Gue mo nanya pr fisika nih.”
“Telaaat! Arneta
baru aja diculik sama Rega, paling-paling sekarang di lapangan basket.”
“Rega? Kapten basket
putra itu? Ngapain ya dia nyulik Arneta segala?”
“Helooo? Elo lupa,
Arneta juga kapten basket putri kaliiii. Gara-gara kecocokan itu, gue jadi
merana gini tiap istirahat. Udah sebulan woy. Sendirian, dilupain dua makhluk
itu. Huuuuff.”
“Loh, bukannya elo
sekarang juga deket sama Ricko?”
Cerri menunduk
begitu mendengar nama itu. Cowok yang romantis, cool, dan bikin hati Cerri
berdebar. Tapi Cerri juga sedikit berhati-hati karena peringatan Arneta. Ia
begitu bersungguh-sungguh memperingati Cerri akan kelakuan buruk Ricko. Tapi,
apa mau dikata, Cerri benar-benar jatuh cinta pada pesona Ricko.
“Ah, enggak. Gue
nggak deket sama siapa-siapa kok.”
Ricko mengajak Cerri
nge-date besok malam. Cerri memutuskan untuk memberitahu Arneta.
“Halo? Ar?”
“Ya, apaan?”
“Gue mau dating sama
Ricko.”
“So what?”
“Iiiih, gitu banget
jawabnya lo ini. Hm.. tau sih yang kemaren abis ujan-ujanan berdua.
Hahahaha...” cewek itu tertawa lepas menggoda Arneta.
Di sisi lain, Arneta
juga tersenyum senang.
“Ehm, iya. Kemaren
basket selesai jam 6 sore, trus dia ngajakin makan seafood deket sekolah itu.
Bayangin, gue sama dia masuk restoran seafood dalam keadaan keringetan, dekil lagi.
Sampe waitress nya ngernyitin idung. Hahaha...” kedua cewek itu kembali
tertawa, “Abis itu, balik lagi ke sekolah. Tiduran di lapangan, ngeliatin
bintang.”
“Gilaaaa, so sweet
banget sih.”
“Cerr, kayaknya gue
mulai suka deh sama Rega.”
“Waaah, bagus banget
itu. Finally sahabat gue yang satu ini jatuh cinta juga..”
Baru saja Arneta
akan berkomentar, matanya tiba-tiba menangkap dua sosok cowok yang
disebut-sebut dalam percakapan di telepon tadi. Matanya terbeliak.
“Cer, ntar gue
telpon lagi ya. Ada urusan.”
Arneta sedang berada
di meja kasir rumah makan kecil milik mamanya. Ia segera beranjak mencari
tempat bersembunyi yang aman. Untungnya mereka memilih meja paling belakang,
dan Arneta dapat dengan mudah mendengar percakapan mereka.
Ngapain mereka
kesini?
Mama Arneta
menghampiri mereka untuk mencatat pesanan. Setelah beliau pergi, Ricko membuka
percakapan.
“Gimana?”
“Gue mau ngomong
serius soal ini.”
“Ada apa? Gue liat lo akrab banget sama dia. Gue makin
yakin, lo pasti berhasil ngejebak dia kan? Nggak salah gue minta tolong sama
lo.”
“Itu masalahnya. Dia
itu cewek baik. Gue rasa apa yang kita lakuin ini nggak bener.”
Siapa yang mereka
maksud? Jangan-jangan...
“Hahah, bukannya
dari dulu juga rencana ini memang nggak bener? Udah deh, lo udah jalanin rencana
kita sejauh ini. Semakin cepet lo selesaiin, semakin baik. Lo harus nepatin
perkataan lo, balesin dendam gue, seenggaknya sampai gue dapetin Cerri. Pacarin
dia, bikin cewek itu cinta mati sama lo, trus selingkuhin, atau putusin
sekalian. Gampang kan?”
Jantung Arneta
serasa berhenti berdetak. Kata-kata Ricko barusan menghantam pendengarannya.
Menggoreskan luka dalam di hatinya. Dan luka itu mengucurkan darah, panas
membakar. Arneta terkejut, tak pernah merasa sesakit ini, bahkan ketika papa
masuk penjara. Tidak, tidak sesakit ini. Arneta duduk mematung. Membeku, sekuat
tenaga menahan butiran air mata yang siap jatuh kapan saja.
Nggak, ini pasti
salah.
“Kenapa lo yakin itu
bisa bikin dia sakit hati?”
“Cewek kayak dia
egonya tinggi. Gue yakin, Arneta bakal down begitu dia tau lo permainin dia.”
Oke, cukup. Lo nggak
usah nunggu selama itu buat ngeliat gue down. Sekarang pun lo udah sukses bikin
gue ngerasa jadi makhluk paling bego.
Arneta keluar lewat
pintu belakang. Menghabiskan waktu berdiam diri di kamarnya. Gadis itu tak bisa
merasakan apa-apa. Kecuali luka yang berdenyut yang di hatinya.
“Cerri,” sapa Rega
ramah, “Ar mana?”
Yang ditanya hanya
duduk, asyik menekuri sebuah novel tebal.
“Ngapain kakak
nyariin Arneta lagi? Harusnya aku nggak nyuruh kakak buat jagain dia.”
“Eh?” Rega heran,
“Maksud kamu apa?”
Cerri tetap tidak
mengalihkan pandangan dari novelnya. Diam-diam, ia bingung menghadapi kakak
kelasnya ini. Tadi malam ia mendengar semuanya dari Arneta. Ia juga bisa
merasakan sakit hati Arneta. Bahkan tadi pagi Arneta hanya meletakkan tas di
kursinya, namun sama sekali tidak mengikuti pelajaran. Cerri terpaksa menjawab
Arneta berada di UKS ketika para guru menanyakannya. Cerri tau kemana Arneta
menyendiri.
“Cerri ?”
Cerri menggelengkan
kepalanya, meletakkan novel itu di meja. Ia menatap manik mata Rega
dalam-dalam.
“Kami udah tau
semuanya. Sekarang lo sama Ricko nggak usah pura-pura lagi. Seneng kan lo
sekarang, udah bikin Ar sedih gini? Kenapa sih lo, kak? Gue nggak nyangka lo
sejahat ini,” cecarnya. Nada suaranya meninggi.
Rega terpaku.
“Apa?”
Cerri mengibaskan
tangannya, “Gue muak kak ngeliat lo sama Ricko. Sampein ya ke dia, gue ucapin
selamat. Rencananya berhasil. Sekarang mending lo....” Cerri berhenti. Rega
menatapnya, mencengkeram kedua bahunya erat-erat. Cerri bisa merasakan nafas
memburu Rega.
Dimana Arneta?”
“Lo disini..”
Arneta tersentak
kaget melihat siapa yang datang. Ia sontak berdiri, “Ngapain lo kesini?” tanyanya
dingin.
Rega diam, ia tak
tahan dengan tatapan menusuk dari mata cewek ini.
“Kalo lo kesini Cuma
buat diam, mendingan pergi aja.” Ia kembali duduk di sebuah pipa tua berukuran
besar. Mereka berada di belakang gudang sekolah. Tempat paling sepi di seantero
sekolah, sesuai untuk menyendiri seperti yang Arneta lakukan. Disana sini
tumbuh rumput dan bebungaan liar yang tak terurus. Dinding yang kusam dihiasi
tumbuhan menjalar. Tanahnya lembab dan sedikit berlumut. Sebuah pipa besar
teronggok di dinding gelap itu.
Arneta menghubungkan
headset ke handphone-nya. Baru jempolnya hendak menekan tombol play, suara Rega
mencegah jari-jarinya bertindak.
“Apa yang lo dengar
kemarin memang bener,” suaranya menggetarkan hati Arneta.
Damn!
Arneta gagal menahan
perasaannya, pertahanannya runtuh di depan cowok ini. Arneta menyeka air
matanya.
Cerri berhenti di
samping gudang. Ia memperhatikan sorot mata Rega, sesuatu yang serius tengah
dibicarakan.
Cerri membalikkan
tubuhnya. Menatap Ricko tajam. “Sekarang giliran lo jelasin semuanya ke gue.”
Siang itu, di sebuah
rumah makan kecil, Ricko menggebrak meja.
“Shit! Apa mau lo?!
Udah sebulan lo ngelakuin rencana kita. Lo nggak bisa mundur gitu aja! Dendam
gue belom kebales!”
“Gue nggak bisa
bohongin hati gue lagi, Rick.”
Ricko menarik kerah
baju Rega, “Lo pengecut!”
Terpancing emosi,
Rega menepis tangan Ricko, “Lo nggak lebih baik dari gue. Cowok yang beraninya
Cuma sama cewek disebut apa kalo bukan pengecut? Atau, lo nggak pernah
ngerasain gimana mencintai dan dicintai dengan tulus?”
“Jujur, waktu itu
gue shock. Gue rasa apa yang selama ini gue lakuin childish dan egois banget.
Gue emang salah dari awal, dan kesalahan gue memperburuk suasana. Gue minta
maaf atas sikap gue.”
“Gue nggak tau kalo
itu rumah makan Arneta. Gue juga nggak tau kalo dia dengerin pembicaraan gue.
Pasti dia Cuma denger setengahnya aja. Seandainya dia denger semua pembicaraan
gue dan Rega dengan utuh, pasti nggak jadi runyam gini.”
Cerri menyimak
penjelasan Ricko. “Ya iyalah. Arneta pasti udah marah duluan di tengah
pembicaraan dan mutusin untuk pergi.”
Keduanya diam
sejenak. Ricko menyentuh tangan Cerri pelan.
“Cerri, kalo Rega
aja bisa mencintai dengan tulus, kenapa gue nggak?”
Satu minggu berlalu.
Meskipun Rega dan Ricko sudah minta maaf, Arneta masih dingin terhadap mereka.
Cerri pun tak berani bicara apapun tentang permusuhan ini. Di satu sisi, ia
ingin mereka segera berbaikan. Toh Arneta juga jatuh cinta pada Rega, Cerri
bisa memastikannya. Namun di sisi lain ia juga mengerti sakit hati Arneta. Ia
hanya bisa menghela nafas.
Rega tak pernah
berhenti memandangi cewek itu di lapangan basket. Betapa ia merasa bersalah
telah menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan Ar yang dulu terbuka lebar.
Rega berjalan gontai
memasuki pekarangan rumahnya. Baru saja sampai di depan rumah, mamanya
memanggil. “Rega, sini cepetan.”
Mau tak mau, Rega
melangkahkan kakinya tanpa semangat ke arah mamanya. Tampak seorang pria
berdiri disampingnya. “Ada apa, Ma?”
“Kenalin, ini Pak
Wijaya. Dia tukang kebun baru kita. Pak, ini putra semata wayang kami, Rega.”
Rega mengangkat
kepalanya untuk melihat pria itu.
Dan saat itu pulalah
ia merasa seolah petir menyambar dirinya. Seraut wajah yang sangat dikenalnya.
Seraut wajah yang terlukis di diri gadis yang dicintainya. Mata Rega terbeliak
melihatnya, tangannya tak mampu ia gerakkan untuk menyambut uluran tangan pria
ini.
Rega menggeleng,
“Nggak. Tempat bapak bukan disini,” ujarnya kaku.
“Arneta !” seruan
mamanya membuat Arnet hampir terlonjak. Sedikit menggerutu, ia keluar dari kamarnya
menuju halaman depan.
Begitu ia sampai,
bukan main terkejutnya gadis itu melihat siapa yang berdiri di halamannya.
Pria itu jauh lebih
kurus, wajahnya terlihat tua, dan kulitnya lebih gelap. Raut wajahnya kesepian,
Arneta bisa melihat kepedihan di mata pria itu. Kepedihan dan keharuan
bercampur di sana. Gerak tubuhnya begitu kaku dan canggung. Kulitnya yang legam
dibalut pakaian lusuh seadanya, kotor dan penuh tambalan disana-sini. Alas kaki
tipis melindungi telapak kakinya.
Tapi matanya tetap
tidak berpaling menatap Arneta. Sungguh miris hati keduanya.
Arneta tak sadar
tubuhnya bergerak memeluk pria itu. Ia menangis deras.
“Papa..”
“Papa sudah keluar
penjara seminggu yang lalu. Tapi, maaf, papa nggak langsung menemui kalian.
Cuma berani melihat dari jauh. Papa tau alamat rumah ini dari tetangga kita
dahulu.”
Pria itu berhenti
berkata sejenak, memandang putrinya masih penuh keharuan. “Papa nggak percaya
kamu udah semandiri ini, Ar. Bertahan hidup tanpa papa.”
Arneta tersenyum
kecut.
“Papa berniat cari
pekerjaan lebih dulu sebelum menemui kamu dan mama. Tapi nggak mudah, nak. Papa
jalan terus dari rumah ke rumah, tapi nggak ada yang mau memperkerjakan papa.
Baru kemarin papa dapat kerja jadi tukang kebun di sebuah rumah. Dan dari situ
pula, papa dapat motivasi untuk menemui kalian. Seorang pemuda. Dia bilang
kalau kamu lebih membutuhkan papa daripada sekedar uang.”
“I really wanna talk
to you. Would you come to the last place we met? Wow, atensi dari siapa ini yaa? Tanpa
pengirim. Dan nggak menyebutkan untuk siapa. Tapi kayaknya special yaa. Ayo,
bagi temen-temen yang merasa dipanggil oleh atensi ini, silahkan datang ke
tempat ituuu..” cerocos penyiar radio sekolah.
Cerri tersedak
minuman soda yang dibelinya begitu mendengar radio sekolah. Ia segera
menghambur ke luar kelas, celingak-celinguk mencari sesuatu. Tampak Ricko
berlari ke arahnya. “Lo denger atensi barusan?”
Cerri mengangguk.
Rega berlari kencang
ke belakang gudang sekolah. Ia berhenti di depan orang yang menunggunya.
Ia mengatur
napasnya, menyeka keringat di dahinya, dan memandang Arneta.
“Gue nggak salah
kan, lo yang ngirim atensi itu?”
Arneta mendongak,
membalas pandangan Rega. Ia belum mau menjawab. Arneta benar-benar tak
mengerti. Kenapa hatinya tak mau tenang di hadapan cowok ini, kenapa?
“Ar?”
Rega masih
menatapnya, tak sabar mendengar suaranya. Ia tertegun sekaligus lega luar biasa
ketika cewek itu menghambur ke pelukannya.
“Makasih udah
balikin bokap gue. Makasih.” Rega
mengacak-acak rambut Arneta sebagai jawabannya.
Dari kejauhan, dua
pasang mata menatap penuh kelegaan. Siapa lagi kalau bukan Cerri dan Ricko.
TAMAT
4 Juli 2012