Separuh Jiwa
by :
Si Baik dan Benar ft The forgotten One
Nadiva
Aku mencengkeram pintu. Entah seberapa kuat, dan
seberapa lama. Aku tak tahu sudah berapa lama aku berdiri mematung di sana.
Menatap lurus ke arah mereka. Asyik sekali mereka, sampai tak menyadari
keberadaanku.
Aram tengah bercanda dengan mereka –Farra, dan dua
pengikut setianya, Fitri dan Anisa– dan sesekali tertawa lepas. Entah apa yang
membuat Aram betah di ruang multimedia ini, hanya berempat dengan mereka.
Tampak mengasingkan diri dari lingkungan kampus. Aram begitu semangat
bercerita, tersenyum saat Farra meminta foto bersama. Dengan pose yang hampir
membuat kakiku mendatangi mereka.
Sepenggal memori menghampiri kepalaku. Oh, ternyata
gosip itu benar. Gosip yang sering kudengar belakangan ini, tentang kedekatan
pacarku dengan cewek ganjen itu. Aku tak mau menyebutnya ganjen, sebelum hari
ini, sebelum aku lihat sendiri pemandangan menyakitkan ini.
“Aram, entar kalo udah famous jangan sombong loh. Awas
kalo sombong, Farra cubit sampe biru,” ujar cewek itu. Manjanya.
Aku tahu, Aram termasuk cowok populer di kampus ini.
Lebih tua setahun dariku. Dan ia seorang model. Sudah beberapa kali main di FTV
pula. Tapi ia tak pernah sibuk untukku, bahkan selalu ada, selalu merayakan
anniversary bersama, bahkan selalu ngapel
tiap weekend.
Tapi itu sudah berlalu sebulan yang lalu.
“Hahaha, emangnya gue punya tampang sombong?”
“Ya siapa tau, pokoknya jangan sampe lupain Farra.
Titik.”
Lalu Farra dan antek-anteknya tertawa cekikikan,
membuatku muak. Dan tangannya itu loh! Beraninya menyentuh lengan Aram. Aku
makin bingung karena Aram sama sekali tidak menolaknya.
My God! Jantung ini serasa digodam.
Ingin sekali aku menghampiri mereka, melemparkan
blackforrest yang kubawa ini ke muka
cewek itu, atau bahkan melakukan sesuatu yang lebih sadis, mungkin.
“Ehm.” Cuma itu yang dihasilkan pita suaraku. Suaraku
bergetar.
Mereka berempat menoleh. Tertegun. Si Fitri dan Anisa
bahkan mengkeret melihatku, agak menjauh dari Aram dan Farra. Tapi cewek
menyebalkan itu tetap stay di dekat
Aram! Hanya melepaskan tangannya.
“Nad,” sapa Aram dengan keterkejutannya.
Aku berhasil menahan langkah kakiku yang ingin sekali
mendamprat mereka, aku melangkah pelan-pelan, menikmati sensasi keterkejutan
dan kewaspadaan mereka.
Aku berhenti di hadapan Aram.
“Aku pikir kamu memang sibuk penelitian. Sampai lupa
hubungin gue sebulan ini. Bahkan lupa sama sekali kalo hari ini anniv. You are a liar.”
Aram menatapku terpana. “Maksud kamu apa?”
Aku mendengus kesal, lalu berpaling pada Farra.
“Silahkan dinikmati berdua,” kataku pelan, menekankan
intonasi pada setiap kata. Kuletakkan box sedang berisi blackforrest di meja dan segera pergi sebelum air mataku
jatuh.
***
Segelas limun dingin tak berhasil meredakan amarahku.
Aku menarik nafas panjang, merebahkan kepala di meja kafetaria. Pikiranku
melayang kembali pada kejadian tadi. Tega sekali Aram. Tidak mengejar, mencoba
memberi penjelasan, atau sebagainya.
“Apa dia nggak sayang gue lagi? Apa daya tarik Farra
lebih kuat daripada gue?” gumamku pada diriku sendiri.
“Hei, ngomong sama siapa?”
Aku mengangkat kepalaku.
“Ryu?”
Yang kupanggil langsung duduk manis, meletakkan nampan
berisi dua hamburger dan soda.
“Gue tanya, ngomong sama siapa?”
Aku tak menjawab. Menopang dagu dengan tangan kiriku.
Keningku mengernyit saat ia memberikan sebuah hamburger padaku.
“Buat yang lagi patah hati,” ujar cowok itu kalem. Aku
melotot.
“Tahu darimana? Nguping?”
Ryu mengangkat bahu, “Siapa suruh bengong di depan
multimedia. Gue pikir ada apa, ternyata ada yang lagi cemburu.”
Aku menatap cowok keturunan Jepang ini dengan tatapan
menyelidik. Ryu membalas tatapanku, “Jangan marah-marah, tanya dulu kejadian
sebenarnya.”
Aku mengibaskan tanganku, “Buat apa? Bagi gue, hubungan
ini udah berakhir. End. Sad ending, tepatnya.”
“Kalo lo ngambil keputusan gegabah pas lagi marah, ntar
ujung-ujungnya nyesel. Terserah sih, gue Cuma ngingetin. Udah deh nggak usah
pasang muka kayak gitu. Nggak enak banget diliat.”
***
Aram
“masih ada waktu” ucapku sambil berlari menuju ruang
multimedia.
Masih ada selang beberapa jam sebelum kelas selanjutnya
dimulai. Aku pun bermaksud ingin beristirahat sejenak diruang multimedia ini
karena sangat sepi dan cukup tenang untuk tidur sejenak. Aku menarik gagang
pintu sambil memikirkan hilangnya kelelahan akibat syuting semalaman suntuk.
“eh ada artis disini, hai ram!” teriak Farra seorang
gadis yang cukup cantik dengan tubuh proporsional.
“sial,” ucapku ternyata aku tak sendiri kali ini. Jika
hanya berdua tak apa, aku dapat meminta tolong agar Farra meninggalkanku.
Ternyata ada juga Anissa dan Fitri, dua teman Farra yang lain. Tak mungkin aku
mengusir mereka bertiga hanya untuk keegoisanku semata, siapalah aku? Hanya
seorang model amatiran yang sedang mencoba peruntungan.
“hai!” ujarku dengan senyum yang membutuhkan istirahat.
“ada apa kamu kesini ram?” ucap Farra sambil memperbaiki
rambutnya yang sebenarnya tak bercacat cela.
Sejenak aku terdiam melihat wajah cantiknya sambil
memikirkan jawaban apa yang akan ku keluarkan. Belum sempat aku mengatakan
sesuatu tiba-tiba Anisa menarik lengan bajuku untuk duduk disebelahnya dan
berbicara tentang pekerjaan menjadi pemain FTV.
Cukup lama aku meladeni mereka bertiga, Farra, Fitri,
dan Anissa. Tetap tersenyum dalam meladeni pembicaraan mereka yang selalu
mengkait-kaitkan dengan ketenaran ku yang tak seberapa, pembicaraan yang cukup
menyebalkan menurutku.
“Aram, entar kalo udah famous jangan sombong loh. Awas
kalo sombong, Farra cubit sampe biru,” ucap Farra tersenyum sambil meletakan
tangannya dipundakku perlahan.
“cukup sudah!”
terbersit dalam pikiranku.
Akhirnya akupun melihat jalan keluar dari semua
pembicaraan yang membosankan ini.menolah dan menoleh akupun melihat dosen yang
terlihat dijendela sedang berjalan didepan ruang multimedia aku pun memanggil
menyebut sebuah nama, entah nama siapa, yang penting aku dapat keluar dari
tempat memuakan ini sambil berpura-pura memiliki keperluan mendesak. Belum
sempat aku berdiri
“Ehm.” Terdengar suara yang tak asing bagiku
“Nad?” ujarku kepada wanita pujaanku. Melihat kotak yang
dia bawa akupun baru sadar bahwa hari ini adalah anniv kami berdua.
“Aku pikir kamu memang sibuk penelitian. Sampai lupa
hubungin gue sebulan ini. Bahkan lupa sama sekali kalo hari ini anniv.
“maksud kamu apa?” sedikit terdiam sambil memandangi
dirinya dengan sedikit kerutan didahi dan bibir dengan senyum tertahan dan
sedikit bergetar, memahami ini semua
kalau semuanya adalah salah paham. Nadiva tak mengerti kalau aku terlalu
kelelahan hingga lupa menghubunginya dihari yang cukup penting ini.
“Silahkan dinikmati berdua,” ucap Nadiva dengan suara
yang sedikit bergetar.
“Waaaaa, blackforrest!!!” ujar Fitri dengan antusias sambil membuka kotak
yang disodorkan kedepan Farra.
“Keliatannya enak nih!” sambut Anissa dengan mencolek
bagian atas kue blackforrest yang berwarna agak kehitaman dengan taburan meses
hitam dan krim yang sangat menggugah selera.
Melihat kedua orang ini akupun tak sadar bahwa Nadiva
telah meninggalkan kami berempat.
“yaudah abisin aja, gw pergi dulu. Masih ada kelas!”
ujarku sambil berlari keluar dari ruang multimedia untuk mencari Nadiva.
“co!” ujarku pada Enrico seorang teman dari Nadiva.
“apaan ram?” tanyanya
“lihat diva?” tanyaku terburu-buru sambil membenarkan
kerah bajuku.
“wah, gak liat gue ram. Sorry!” ujarnya sambil menepuk
pundakku.
Melihat jam tangan yang tertempel di tangan kiriku
akupun mengirimkan pesan singkat untuk Nadiva untuk bertemu seusai kuliah.
Nadiva
“Ketemu abis kuliah ya, Nad.”
Aku menarik nafas usai membaca pesan singkat dari Aram.
Kumasukkan ponselku ke tas tanpa kubalas.
Aku dan Ryu tengah berjalan menuju laboratorium.
“Lagi berantem ya?” ujar seseorang menepuk pundakku. Aku
manyun begitu tahu siapa orang di belakangku.
“Iya. Temen lo itu seneng banget sih deket cewek-cewek
genit macam Farra?” balasku sengit.
Enrico terbahak hingga wajahnya memerah, “Jadi itu
masalahnya?”
Kami berjalan santai. Sama-sama fakultas farmasi telah
mengakrabkan kami bertiga. Yah, sebenarnya Enrico dan Ryu tidak terlalu akrab,
sih.
“Gimana ya, gue jadi nggak enak mau ngajak lo gabung di
kepanitiaan pameran fotografi bulan depan. Lo lagi kacau kayaknya.”
“Eh? Nggak apa-apa kok. Justru gue pengen nyibukin diri.
Gue ikut ya?”
Enrico tersenyum, “Yakin? Oke deh, rapat pertama entar
abis kuliah. Dateng ya.”
Aku mengangguk, “Lo mau ikut nggak, Ryu? Lumayan dapet
makan gratis abis acara,” kataku bersemangat.
Ryu menatapku bengong, “Nggak ah. Gue nggak suka
fotografi.”
Entah kenyataan atau hanya perasaanku saja, kudengar
Enrico menarik nafas lega di sebelahku.
“Yah sayang banget. Oya, Co, emm.. Elo tau nggak,
seberapa deket sih Aram sama Farra?” pertanyaan itu begitu saja meluncur dari
bibirku. Agak takut aku mendengar jawabannya. Apalagi kalau sampai Enrico
menjawab mereka hampir jadian.
“Gue juga bingung,” wajahnya serius, “Justru gue heran,
elo sama Aram masih jadian sampe sekarang. Mereka kan udah deket dari bulan
kemaren, Nad. Gosipnya aja udah jadian. Lo kemana aja sampe nggak tau Aram
deket sama dia?”
Ryu mencibir, “Itu kan gosip.”
Aku menengahi sebelum kedua cowok itu beradu argumen,
“Iya gue tau. Siapa sih yang nyebarin gosip gituan?”
“Menurut gue sih Farra sendiri. Dia yang bilang ke gue
dan beberapa temen cowok soal elo sama Aram udah putus.”
Lagi-lagi aku merasa jantungku berhenti berdetak. Betapa
seringnya jantung ini terkejut hari ini, mungkin kalau aku mendengar berita
lain tentang Aram-Farra, aku bakal langsung mati.
Aku menunduk lemas.
“Apa gue putus aja ya?”
***
“Jangan becanda deh, Ryu?”
“Gue serius. Seandainya tadi lo liat mata Enrico
langsung berbinar waktu lo bilang mau putus, lo pasti yakin kalo dia suka sama
lo.”
“Ya nggak mungkin laaaah, dia itu sahabat nomor satunya
Aram. Lo salah liat kali, mungkin aja dia lagi ngeliat cewek cantik di sebrang
sana yang bikin mata dia berbinar,” jawabku asal.
Aku tahu persis watak
Ryu. Ia tak suka berdebat. Tapi herannya, begitu bertemu Enrico, dia
jadi suka memaksakan pendapatnya. Dan karena dasarnya mereka berdua nggak mau
ngalah, jadi perdebatan mereka sering berlanjut dan semakin seru.
“Gue duluan ya, udah ditunggu Enrico. Byeee,” aku
melambai pada Ryu. Tapi cowok itu malah menggelengkan kepalanya.
“Gue ikut.”
***
Enrico membuang muka begitu melihat aku datang bersama
Ryu. Aku melirik Ryu sekilas, ia tampak cuek dan melenggang masuk ruang
redaksi.
Tanpa basa-basi, rapat sederhana itu dimulai ketika
seluruh anggota hadir. Enrico sebagai ketua membagikan tugas dan menjelaskan
dengan singkat segala hal tentang pameran fotografi untuk memperingati hari
kemerdekaan Indonesia bulan depan.
Satu setengah jam sudah cukup untuk rapat. Semua anggota
sudah pulang. Kecuali aku, Ryu, dan Enrico.
“Ngerti kan bagian-bagian lo, Nad?” tanya Enrico.
Aku mengangguk mantap. “Ngerti.”
“Dan lo, apa lo serius bisa jadi panitia yang
bertanggung jawab? Lo harus nurutin agenda, nggak seenaknya aja,” Enrico
berpaling ke Ryu.
“Ya.” Singkat, padat, dan jelas.
“Bagus deh. Nad, kalo perlu bantuan hubungin gue aja.
Gue duluan ya.”
Enrico pulang. Aku masih duduk, sibuk mencatat
bahan-bahan dekorasi yang harus kubeli untuk keperluan pameran. Ryu duduk manis
di hadapanku, sesekali memberi saran dan mengingatkan bahwa budget yang
disediakan mungkin tak cukup besar dan kami harus menghemat pengeluaran.
“Nadiva!” seru suara yang sangat kukenal.
Aku menoleh cepat ke arah pintu, dan tercekat melihat
sosok Aram berjalan menuju kami.
Aku melengos, dengan cekatan membereskan alat tulisku
dari meja.
“Ngapain kamu disini? Ayo ikut, kita perlu bicara,”
ajaknya pelan. Mata Aram terlihat kelelahan. Mungkin semalam ia tak tidur, atau
sibuk bertelpon ria dengan Farra?
“Gue mau pulang,” jawabku singkat.
Tentu saja Aram tak akan menyerah sebelum aku ikut
dengannya membicarakan
masalah hubungan ini. Tapi kali ini aku benar-benar
lelah menjalin hubungan dengan Aram. Aku merasa dibohongi, merasa tak berdaya
karena aku bukan siapa-siapa di kampus ini. Bahkan tak selevel dengan Aram,
dengan Farra dan teman-temannya. Mungkin jika aku bukan pacar Aram, namaku juga
tak pernah terdengar di kampus ini.
“Nggak usah maksa gue, Ram. Gue capek. Mau pulang.”
Mata Aram menyipit. Ia menatapku dalam-dalam, “Capek?
Aku lebih capek, Nad. Baru pulang jam tiga pagi, dan belum istirahat. Jangan
childish, Nad.”
Aku masih sibuk memikirkan kata-kata jawaban untuknya,
ketika Aram menoleh menatap Ryu di sampingku.
“Atau karena ada dia?”
“Ngomong apa sih lo?” aku tertawa miris dalam hati
menyadari Aram curiga pada Ryu. Apa ia tak menyadari kedekatannya dengan Farra
membuatku cemburu setiap hari?
“Jadi karena ada dia,” Aram menarik kesimpulan bodoh.
***
Aram
“Atau Karena dia?” ujarku ketus
“udah tinggalin aja gue disini, gue masih ada urusan!”
bentak Nadiva menolak ajakan dariku untuk bicara.
“Nad, gue pergi duluan ada urusan penting bentar. Bye.”
Ujar cowo disebelahnya entah siapa namanya.
“thanks sob.” Ucapku kepada tuh cowo yang mendekati
Nadiva.
“yok ngobrol bentar! udah gak ada dia kan” ucapku sambil
menarik pergelangan tangannya.
Dengan cepat Nadiva menarik tangannya dan melawan seolah
tak mengenal siapa aku. “lo apaapan sih! udah lah! gue mau pulang! ”
“kamu kenapa sih?” bicaraku perlahan mencoba tuk
didengarkan dan mendengarkan.
“pikirin aja sendiri! Tanya tuh Farra!” bentaknya sambil
berdiri meninggalkan ruang redaksi entah mau kemana.
“Nad!!” panggilku
Tak selangkahpun terhenti dari langkah kaki nadiva yang
meninggalkanku dengan cepat.
***
“Kalo gini terus . Aku mau kita putus aja!” bacaku dalam
sebuah pesan singkat yang dikirimkan oleh Nadiva.
Tanpa pikir panjang aku pun mengambil kunci mobil ku
yang terletak diatas meja belajar milikku yang sangat berantakan dan bergegas
menaiki mobil tuk kerumah dia, Nadiva.
“halo? Halo?” ujarku sambil mengecek apakah panggilanku
benar benar diangkat oleh Nadiva.
“halo? Enrico lo lagi sama Nadiva gak?” ucap ku melalui
handphone mencoba menghubungi orang lain yang mungkin sedang bersama Nadiva.
“Kagak bos, tadi sih dia pamit pergi mau beli
perlengkapan dekorasi buat pameran. Oya ntar lo datang ya di acara pameran
fotografi, liat liat aja. Ok?” ungkap Enrico.
“ya ntar gue usahain datang. Tapi sekarang yang penting
Nadiva ini kemana. Telepon gue gak diangkat.” Ceritaku sambil menengok jam
tangan yang menunjukan waktu makan siang Nadiva.
“kayaknya berantem nih?” selidik Enrico sambil sedikit
tertawa.
Langsung kuputus perbincangan tersebut. tak ada waktu
tuk menjawab pertanyaannya.
***
“pasti dia disana.” Ucapku dalam hati sambil menuju
restoran pinggiran tempat anak-anak kampus makan siang, termasuk aku dan
Nadiva.
Tiba tiba nomor Farra menelpon handphone yang sedang ku
kantongi. Sedikit ada niat untuk menanggapi telpon tersebut, tetapi mengingat
tujuan ku sekarang maka niatan itu aku urungkan.
“Kamu dimana ram? Anterin gue belanja yuk?” kata kata
dalam sebuah sms yang dikirimkan oleh Farra.
“sorry gue sibuk ra. Sorry.” Balasan singkat yang ku
kukirimkan.
Akupun menelpon Nadiva. Sudah lima belas kali aku
menelpon nomor Nadiva sejak perjalanan, tetapi tetap saja diabaikan. Bahkan
terkadang langsung di reject .
“semoga gak ada yang ngenalin gue.” Doaku sambil turun dari
mobil dan menuju tempat makan kecil nan murah tersebut. Takut akan ketenaran ku
yang tak seberapa ini menyusahkan ku saat ingin menemui Nadiva. Dan benar saja,
tak ada seseorangpun yang mengenaliku selain penjual makanan tersebut yang
mengenaliku karena aku hampir setiap hari datang ketempat ini dengan Nadiva.
“tumben kau datang ke sini mas!” ucap ibu yang membuat
tempat ini sekaligus memasak makanan di tempat ini.
Akupun hanya tersenyum kecil menanggapinya. ternyata
benar dugaan ku terlihat Nadiva sedang makan nasi goreng kesukaannya di sudut
ruangan dan ditemani cowok kemarin.
“Nad?” ucapku sambil berjalan mendekati Nadiva yang
sedang asik membicarakan sesuatu dengan cowo cina tersebut.
“lo ngapain lagi kesini? Udah baca sms gue kan!” ucapnya membentak dengan tatapan
tajam.
Cowo itu Cuma terdiam dan sedikit menjauh, tetapi tetap
dalam jangkauan bicara kami berdua. Mungkin karena tidak dimungkinkan untuk
lari situasi pertengkaran tersebut.
“kamu kenapa? Beberapa minggu ini memang aku jarang
menelpon mu karena ada syuting film yang memakan waktu hingga berjam jam.
Syuting siang maupun malam dan
menghabiskan waktu dan tenagaku sehingga selesai syuting ku manfaatkan tuk
beristirahat karena akupun masih harus ke kampus.” Jelasku sambil duduk dan
memegang kedua tangannya.
Nadiva tak bergeming sedikihtpun, tak tampak sedikit
perasaan apapun pada raut wajahnya. Inilah yang membuatku menyayangi dirinya,
perasaan yang sulit ditebak tetapi tetap selalu peduli untuk orang-orang
disekitarnya.
“terus si Farra Farra itu gimana? Kamu kesenengan kan
dideketin ama dia!? “ ucapnya menyerbu seakan tak peduli dengan orang orang
disekitarnya. Sangat berbeda dari biasanya.
“dia bukan siapa siapa nad!” kataku sambil memegang
kedua tangannya sambil menatap matanya
dalam dalam.
Nadiva
Aku menatap mata Aram. Mata itu, meskipun redup,
terlihat begitu tulus. Aku bergumam tak jelas, mengusir kegundahan hati ini.
“Ram, aku butuh waktu untuk mikirin ini semua. Tolong
tinggalin aku sendiri dulu ya? Aku janji kita pasti akan bicara soal ini. Tapi
nggak sekarang, oke?” aku melembut.
Aram berpikir sejenak, “Oke. Aku minta maaf sekali lagi,
sayang.”
Aku menatap punggung Aram yang bergerak menjauh. Entah
kenapa aku merasa ada yang aneh, ada yang membuatku sesak nafas, meresahkan
sekali. Aku tak mengerti perasaan apa ini. Seperti kehilangan sesuatu yang
sangat berharga. Tiba-tiba aku merasa takut, aku tidak suka perasaan ini.
Kucoba menghirup nafas dalam-dalam. Akhirnya perasaan
aneh itu berhasil kuusir.
Aku berpikir sejenak. Tidakkah aku bertindak keterlaluan
pada Aram? Ah, memang sebaiknya kami bicara. Besok akan kutemui dia.
***
“Ryu? Lo kenapa?” ujarku saat baru saja memasuki halaman
kampus. Ryu terlihat pucat sekali!
“Ryu? Sakit ya?” tanyaku cemas. Kecemasanku semakin
menjadi-jadi melihat Ryu tetap diam. Matanya menatap lurus ke depan. Pandangan
kosong. Ia tak bergeming meskipun aku mengguncang-guncang bahunya. Wajahnya
putih, pias sekali. Sungguh aku cemas melihatnya.
“Ryuuuu?” aku memanggilnya berulang-ulang.
Entah berapa lama Ryu mematung seperti itu. Aku sampai
ragu apakah ini Ryu? Atau patung mirip Ryu yang baru dibangun dalam waktu
semalam dan diletakkan di sini?
Saat aku hampir yakin bahwa makhluk ini adalah patung,
Ryu tiba-tiba memelukku. Membenamkan kepalaku di dadanya.
Dan perasaan itu muncul lagi. Sama persis seperti yang
kurasakan kemarin. Perasaan takut, gelisah, dan membuatku sesak. Aku merasa ada
yang tidak beres, tapi apa?
Aku merasakan air mata Ryu menetes di kemejaku.
“Astaga, Ryu! Lo kenapa?” aku hampir menjerit frustasi.
Beberapa pasang mata mahasiswa memperhatikan kami dan
mulai berkasak-kusuk. Tapi aku tak mempedulikan semua itu. Aku gugup, aku
khawatir sekali pada Ryu. Jantungku tak mau tenang melihat semua ini.
Ryu melepas pelukannya. Ia menatapku, lama. Berkali-kali
ia menelan ludah, bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi urung.
Seperti hendak menyusun kata-kata di benaknya.
Ia meraih bahuku, masih menatapku dalam-dalam.
“Aram tewas.”
Dua kata. Hanya dua kata yang terucap dari Ryu.
Namun dua kata yang begitu dahsyat menghentikan putaran
duniaku. Begitu kuat seolah memecah jantungku. Menghujam hatiku berkali-kali.
Membuatku tak bisa berkedip. Kaku bergerak. Lupa caranya
bernafas.
Aku tuli sama sekali akan suara-suara di sekitarku. Dan
otakku tiba-tiba mencerna informasi itu dengan supercepat.
Siapa itu Aram?
Aram, pacarku. Orang yang membuat aku berani hidup dan
berani bermimpi. Yang senyumnya selalu mewarnai hari-hariku. Yang pelukannya
sehangat sapaan mentari. Aram... Aramku.
Dan apa itu tewas?
Mati. Kembali kepada sang Pencipta dan takkan kembali.
Tewas? Kejam sekali kedengarannya.
Jadi Aramku tewas? Apa artinya?
Mendadak otakku buntu. Hatiku yang menjerit tak karuan,
tak tahan merasakan hujaman dan tusukan dari dua kata kejam itu.
Seolah belum cukup, kata-kata itu kembali terngiang.
Aram tewas
Aram tewas
Aram tewas
Aku sama sekali lupa Ryu masih di hadapanku. Masih
mencengkeram bahuku dan memandangku penuh kesedihan.
“Nad ...”
Aku meletakkan jari telunjukku di bibirnya. Ryu diam.
Gemetar, aku berusaha menggerakkan kakiku. Perlahan,
kaki ini berjalan menjauhi Ryu, menjauhi kampus...
***
Ryu
Aku menekankan tinjuku sekali lagi ke tembok. Tembok
kusam ini pun tampak menyedihkan. Tapi tetap tak bisa menghilangkan rasa sesal
ini dari hati. Betapa bodohnya aku! Memberitahu Nadiva semua ini sama dengan
membunuhnya pelan-pelan.
Terbayang jelas wajah Nadiva begitu aku memberitahunya.
Ia mematung begitu lama. Tak menangis, tak berteriak atau histeris, bahkan
tidak mengucapkan apa pun.
Sungguh, aku ingin ia menangis kencang, aku ingin
ia menjerit memanggil nama Aram, atau
bahkan memukulku sepuasnya. Aku ingin ia mengungkapkannya.
Tapi Nadiva selalu berbeda. Ia diam, dan aku hampir gila
melihat pandangan kosongnya itu.
Ketika ia menjauh pergi, aku merasa ditampar kuat-kuat.
Seberapa dalam ia terluka? Aku tak bisa mengukurnya!
Tapi aku yakin, ia telah kehilangan setengah jiwanya. Aram telah membawa
separuh hidup Nadiva.
Aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika ia sampai
berubah. Aku ingin mengejarnya, memeluknya, membiarkan ia menangis dan
memanggil Aram. Oya, si bodoh itu juga keterlalua. Beraninya ia pergi begitu
saja dari kehidupan Nadiva.
Aku ingat pagi itu, aku melihat mobil Aram melaju cepat
di jalanan licin itu. Hanya berselang beberapa detik, sampai aku mendengar
bunyi keras yang membuatku terkejut bukan main. Tanpa sadar, sekonyong-konyong
aku berlari menghampiri mobil ringsek itu, menarik sekuat tenaga tubuh Aram
yang berlumuran darah dimana-mana.
“Aram! Aram!” panggilku panik kala itu. Panggilan itu
hanya menguap di udara ketika aku sadar nadinya tak lagi berdenyut.
“SHIT! Masalah kalian belum selesai, brengsek!” teriakku
pada tembok. Pada arwah Aram yang kuharap mendengar umpatanku.
***
Esok harinya aku bingung dan cemas luar biasa. Nadiva
tetap seperti biasanya. Manis dalam balutan kemeja dan celana panjangnya.
Rambutnya dikuncir satu, beberapa helai menjuntai anggun di dahinya. Aku tak
sanggup untuk tidak mendekatinya.
“Nadiva.”
“Ryu? Ada apa?” tanyanya polos. Matanya memandangku.
“Astaga, Nad! Ada
apa dengan lo?!” luapan emosiku tak bisa kutahan lagi. Sungguh munafiknya
Nadiva!
“Apa-apaan sih lo, Ryu?” gadis itu memberontak dalam
genggamanku.
“Aram baru saja meninggal, Nad! Terlindas mobil!
Tubuhnya berlumuran darah, tulang-tulangnya patah! Tidakkah lo ngerasa sedih
sedikitpun?!!” aku membentaknya terang-terangan. Mempererat genggamanku di
kedua tangannya.
Lalu aku kembali menyesal teramat dalam, ketika mata
cantik itu redup tiba-tiba. Wajahnya sayu. Dan ia tak lagi berontak.
“Kenapa memangnya? Gue dan Aram udah putus. Gue nggak
patut bersedih kan?” gumamnya pelan sekali.
Nafasku menderu lagi, “Jangan bodoh, Nad! Oh, Shit
! Jangan munafik! Gue lebih suka lo
nangis berhari-hari daripada masa bodoh dan memendam semuanya sendiri kayak
gini!!”
Kami sudah menjadi bahan tontonan banyak orang.
Mata Nadiva belum kembali berpijar. Aku tahu persis
gadis ini terluka dalam. Sedalam itukah, sampai ia tak mampu mengungkapkannya?
Aku miris memikirkannya.
“Aku nggak peduli, Ryu. Dia cowok brengsek. Dan air mata
gue nggak akan jatuh sebutir pun, buat dia.”
Nadiva melangkah pelan menjauhiku. Aku masih tak percaya
semua ini.
***
Nadiva
Aku menatap Aram yang kini terbaring kaku. Aku menyentuh
tangannya, jemarinya. Membayangkan Aram
pernah mewarnai hidupku. Membuat aku bahagia luar biasa, atau juga sedih
berhari-hari.
Aramku kini tak bisa lagi menemaniku. Ia sudah pergi,
bahkan untuk selamanya.
Ryu memelukku lagi.
“Kenapa, ya, Ryu? Kenapa Aram sejahat ini? Bahkan dia
udah pergi pun masih bisa bikin gue nangis.” Aku melanggar janjiku. Aku
menangis. Menangisi Aram.
“Gue belum sempet bicara sama dia, Ryu. Gue udah janji.
Apa dia mau gue nanggung rasa bersalah seumur hidup?”
“Lo percaya nggak, kalo dia ada disini, di samping kita?
Mungkin ngedengerin semua omongan kita. Kalo bener, tolong bilangin, kalo gue
nggak bakal ngelupain semua yang Aram lakuin, semua hal yang bikin gue sedih,
bakal gue bawa sampai mati. Hah, dia egois ya, Ryu. Cuma sedikit waktu yang ada
buat gue. Sekarang malah ninggalin gue selamanya. Ah, tapi gue juga salah. Dia
mau nggak ya, maafin gue?”
Aku terus bergumam, membisikkan semua kekesalan dan
kepedihan hatiku.
***
Ryu
Akhirnya pertahanan Nadiva runtuh. Ia menangis, dan itu
membuatku lega luar biasa. Aku tahu dan aku setuju sekali bahwa Aram memang
tidak bertanggung jawab. Tapi bukankah sebaiknya ikhlaskan dia pergi?
“Nad, Aram memang nggak baik untuk lo. Jadi biarin dia
pergi, ya?” ujarku pelan.
Nadiva terdiam, lalu lambat-lambat mengangguk.
“Ya. Aku ijinin kamu pergi, Ram. Meskipun kamu pergi
membawa jiwaku, hatiku. Aku tahu kamu bahagia di sana. Selamat jalan, Aram.”
TAMAT